Mohon tunggu...
Mohammad Herdianto
Mohammad Herdianto Mohon Tunggu... Administrasi - Bukan jurnalis, hanya suka menulis

PNS (Pegawai Nyekel Sapu)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Power of Socmed atau Krisis Toleransi?

31 Januari 2021   22:15 Diperbarui: 31 Januari 2021   22:29 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jagad maya beberapa waktu yang lalu, rupanya sempat digegerkan dengan viralnya seorang sopir angkot yang beradu argumen tentang tarif angkot dengan penumpangnya.


Dalam vidio yang beredar dikalangan masyarakat menceritakan sang sopir yang usianya sudah tidak muda lagi, sangat menggambarkan sosok yang sangat sabar bijaksana, tak ayal hal itu lantas menimbulkan simpati publik terhadapa bapak sopir angkot tersebut.

Rupanya penumpang tidak terima dengan besaran tarif yang di tentukan oleh sang sopir.
Dengan besar hati, sang sopir akhirnya menggratiskan tarif kepada sang penumpang.

Dalam video yang beredar, penumpang tersebut meminta ongkos kembalian dari Sopir sebesar Rp 4.800 usai memberikan uang Rp 5000. Karena menurut sang penumpang, jarak tempuhnya  dekat.

Namun Sopir memberikan uang kembalian sebesar Rp 3000, penumpang itu pun emosi.
Ia ingin sopir mengembalikan uangnya sebesar Rp 4.800 dengan kata lain perjalanannya hanya dihargai Rp 200.

Mendengar permintaan tersebut, Meskipun dengan nada sedikit kesal dan heran dengan sikap penumpangnya, akhirnya menggratiskan ongkos penumpangnya.

Jujur, dari kejadian tersebut timbul sebuah pertanyaan dalam benak saya.
Apakah indonesia saat ini sudah benar-benar mulai krisis toleransi? Apakah ini efek dari perkembengan media sosial.?

Melihat dari sudut pandang yang lain, alih fungsi media sosial saat ini memang sudah berkembang secara masif. Seolah menjadi cctv bagi seluruh lapisan masyarakat pengguna sosial media. Kejadian apapun bisa langsung rekam menggunakan ponsel, lalu di unggah di sosial media dan akhirnya viral.

Apakah memang sudah tidak ada toleransi ? Dan sekali lagi Apakah memang itu semua adalah efek dari perkembangan sosial media di tengah masyarakat? Apakah tidak cukup, jika permasalahan tersebut selesai di tempat? Toh, sang supir juga sudah berbesar hati dan tidak mempermasalahkan tarifnya ?

Terkait permasalahan ini, Tentunya jika di bahas lebih panjang lagi mungkin bisa menimbulkan perdebatan panjang , atau justru seorang yang memilih sudut pandang seperti sudut pandang saya ini justru akan dibully habis-habisan oleh para pengguna media sosial.

Wajar, dan sayapun mengakui kebesaran hati sang sopir angkot, yang rupanya menuai komentar positif oleh para pengguna sosial media, dan bahkan tidak sedikit pula yang berkomentar menunjukan sikap geram atas sikap penumpang angkot tersebut.

Sungguh ini sangat mengganjal dalam pikiran saya. Apakah ini adalah yang orang sebut dengan The Power of Sosial Media ? apakah memang masyarakat saat ini sudah benar-benar krisis toleransi. 

Kenapa kok mbok ya wes ben lah, hal-hal seperti itu tidak usah di rekam lalu di unggah di media sosail dan lalu biarkan masalah itu selesai cukup di tempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun