Sebelum memulai ziarah, Saya menyempatkan untuk berjamaah sholat ashar terlebih dahulu. Di sebelah utara makam Ki Ageng Honggolono memang di bangun masjid yang cukup mewah berlantai keramik ala bangunan modern, namun juga lengkap dengan kethongan dan bedug khas masjid-masjid kampung saat ini.
Jadi bagi siapapun yang sedang berziarah kesana dan bertepatan saat waktu sholat, bisa berjmaah sholat di masjid di dekat makam Ki Ageng Honggolono.
Setelah selasai sholat ashar saya dan Om nanang memulai untuk ziarah.
" Ayo le kita mulai , dengan doa sebisanya aja, yang penting niatnya mendoakan Eyang" sahut Om Nanang mengajak untuk memulai ziarah. Dan Om Nanang setiap harinya memang memanggil saya dengan sebuatan le ( singkatan dari thole ) seperti orang jawa pada umumnya, ketika memanggil kepada seorang laki-laki yang usianya jauh dibawahnya.
Selang beberapa lama, Saya dan Om Nanang duduk bersila tepat di sebelah barat makam menghadap ke arah batu nisan dimana Ki Ageng Honggolono bersemayam, di bawah cungkup makam.
Cungkup makam sendiri adalah atap atau rumah-rumahan kecil yang biasanya digunakan untuk peneduh makam dengan seluas kurang lebihnya 2 kali 3 meter persegi setiap satu makam, dan  biasanya dibangun tidak terlalu tinggi, kurang lebih hanya 1 sampai 1,5 meter jarak tanah dengan genteng paling bawah.
Selesai Doa, Om Nanang  beranjak mengambil tas rangsel miliknya yang ditaruh di pendopo sebelah selatan makam, sayapun berniat untuk mengikutinya. Namun ketika saya mulai berdiri, tiba-tiba "gubraakk", kepala saya terbentur genteng cungkup makam dengan kerasnya.
Rasanya cukup sakit dan agak pusing, untung saja tidak sampai luka ataupun berdarah. Anehnya, bukannya menolong saya yang sedang meringis kesakitan, Om nanang Justru tertawa dengan kencangnya.
" Hahahahaha.. rasakno, kapok pora we, molane to le yen mlebu metu makam kui kudu sopan le, dingkluk mlakune" ( Hahaha kasian, kapok gak kamu, makanya setiap kali masuk keluar makam itu harus sopan dan berjalan dengan merunduk) kata Om Nanang sambil tertawa dan sedikit bercanda.
Setelah itu saya dan Om Nanang memutuskan untuk pulang, karena waktu sudah mendekati adzan magrib. Dalam perjalanan pulang dari makam, dengan kepala yang masih sedikit sakit saya berfikir, apa benar yang dikatakan oleh Om Nanang tadi? Apakah kejadian itu adalah cara untuk mengingatkan saya agar lebih sopan ketika keluar masuk makam? Entahlah, mungkin saja iya.
Mungkin juga itu adalah filosofi dan cara orang-orang terdahulu, setiap kali membangung cungkup makam, sengaja dibangung tidak terlalu tinggi. Tujuannya adalah agar para peziarah bisa lebih berhati-hati ketika keluar masuk makam saat berziarah.