Selembar kertas yang bertuliskan "Pak bupatiku tolong biarkan dapurku hidup" terlihat dibentangkan oleh seorang bapak-bapak di sekitaran perempatan Tonatan Ponorogo yang memakai kaos warna putih bergambarkan Bupati Iponk, tepat di wajah bapak itu. Entah mungkin karena untuk menutupi wajah dari panas matahari atau mungkin sengaja untuk menutupi wajahnya agar tidak diketahui identitasnya.
Awalnya saya tidak begitu memerhatikan ada apa yang sedang terjadi di Kota Ponorogo beberapa waktu terakhir ini. Hanya sedikit melihat sepintas dari berita di media sosial tentang adanya beberapa unjuk rasa yang sedang berlangsung, salah satunya adalah unjuk rasa terhadap ketetapan terkait pelarangan becak montor (bentor) untuk beroprasi di wilayah Kota Ponorogo.
Entah harus melihat dari sudut pandang yang mana. Di satu sisi, yang jelas pemerintah sendiri pasti mempunyai alasan yang kuat untuk mengasahkan sebuah peraturan, ada undang-undang yang melandasi di setiap keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Selain hal itu, adanya peraturan dan kebijakan itu sendiri adalah sebuah langkah pemerintah untuk perbaikan ekonomi masyarakat, agar masyarakat semakin lebih baik dari sisi perekonomian. Dan juga untuk mewujudkan pembangunan kota agar lebih baik selama dalam masa kemimpinannya.
Di sisi lain, nasib para pengemudi bentor terlihat sangat memprihatinkan. Mereka sebagai masyarakat kecil merasa menjadi korban dari sebuah kebijakan pemerintah, ladang usaha mereka untuk mengais rejeki sehari-hari harus dengan terpaksa ditertibkan. Sehingga mereka harus terpaksa untuk berhenti menjalani pekerjaan yang sudah mereka lakoni setiap harinya.
Tak kuat rasanya membayangkan posisi mereka sebagai kepala keluarga yang memikul berat beban tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya. Namun langkah mereka untuk mencari nafkah harus terhenti begitu saja.
Sebenarnya pemerintah sendiri pun di samping harus memberikan sebuah peraturan juga sudah menyiapkan solusi bagi masyarakat. Agar masyarakat tetap bisa bekerja mencari nafkah dengan cara lain daripada cara yang sebelumnya yang dinilai menyalahi aturan oleh pemerintah.
Namun apalah daya, mungkin solusi yang diberikan oleh pemerintah masih dirasa kurang tepat di mata masyarakat khususnya para pengemudi bentor. Sehingga tidak ada cara lain selain menggelar beberapa aksi unjuk rasa dalam bentuk protes terhadap pemrintah seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir.
Seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, kegelisahan mereka dimanfaatkan sekelompok orang yang mengambil keuntungan sesaat. Baik keuntungan secara materi maupun politik. Mendengar dari obrolannya, mereka harus menarik iuran 25-50 ribu per orang untuk biaya demonstrasi dan depan kantor bupati tempo hari.
Menurut mereka ada beberapa oknum diduga ada pihak LSM yang akan memperjuangkan nasib mereka dengan imbalan uang. Sudah negosiasi mereka dipatok harga jutaan rupiah untuk konsep demonstrasi. Belum lagi sewa sound system harus ditanggung sendiri. Namun belum juga bisa menemukan solusi.
Semoga dengan cara ini mereka bisa mendapatkan sedikit bantuan berupa uang dari masyarakat lain yang sedang melintas di depan aksi mereka. Uang itu nantinya akan diserahkah kepada pihak kepolisian dan Dishub agar dibuatkan becak montor (bentor) yang layak beroperasi, sehingga pekerjaan yang mereka lakoni tidak harus bertabrakan dengan kebijakan pemerintah dan undang-undang yang sudah disahkan saat ini. Dan yang pasti pemerintah sendiri pun juga tidak bisa serta merta disalahkan. Mengingat bahwa setiap keputusan pasti dilandasi dengan undang-undang.
Semoga ke depannya pemerintah bisa menemukan solusi terbaik agar tidak ada lagi aksi-aksi seperti ini serta tidak ada lagi bentuk protes masyarakat kepada pemerintah sebagai wujud ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya. Dan masyarakat ponorogo khusunya pengemudi bentor ke depannya bisa hidup lebih baik dalam segi perekonomian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H