Mohon tunggu...
Hayunda Lail Zahara
Hayunda Lail Zahara Mohon Tunggu... Penulis - Author

Peramu rasa, peracik kata, pencipta nuansa

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Diary Perempuan Pejuang Energi

19 Juni 2024   15:25 Diperbarui: 19 Juni 2024   16:03 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama Rovina mendemonstrasikan lampu tenaga surya kepada warga Lembata (Sumber: Kopernik)

Perempuan adalah pengguna energi terbanyak. Tugas dasar rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, dan menemani anak belajar ketika malam hari seringkali dibebankan kepada perempuan akibat relasi kuasa yang tak seimbang. Sedangkan, para lelaki hanya mengambil peranan finansial dan teknis, seperti bekerja, memperbaiki rumah, dan membeli maupun menjual aset.

Pada 2021, tercatat bahwa setengah juta rumah tangga Indonesia hidup tanpa listrik. Bisa dibayangkan, kaum ibu dan anak lah yang paling terdampak. Ibu yang tak memiliki akses pada listrik dan peralatan elekronik menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menyelesaikan tugas rumah tangga. Kehilangan waktu yang sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk istirahat, bersosialisasi, menemani anak atau bahkan mengembangkan diri. Berusaha berdamai dengan keadaan, tetapi lampu minyak yang menerangi anak-anak mereka saat belajar membuat mata perih karena asap buangannya naik ke atas.

Meski menjadi barisan yang paling merana imbas kealpaan energi, nyatanya dari perempuan jugalah transisi energi bersih bisa diakselerasi. Saya mengenal beberapa perempuan yang berinovasi, membangun instalasi EBT, atau bahkan menjadi pengguna setia EBT (Energi Baru Terbarukan) yang telah memanen manisnya peradaban. Saya memanggil mereka pejuang energi dan inilah kisah mereka!

Thomas Alva Edison Wanita Indonesia

Dialah Prof. Camellia Panatarani, seorang dosen fisika, penjelajah alam, dan Thomas Alfa Edison edisi perempuan yang bermukim di kota kembang.

Bu Camel, begitu sapaannya, ialah juga dosen pembimbing saat saya tergabung dalam riset grup di lab nano PRINT-G (sekarang bernama FiNder U-CoE) yang ia kelola.

Saya (kerudung merah jambu) bersama kawan-kawan di depan lab PRINT-G (dokpri)
Saya (kerudung merah jambu) bersama kawan-kawan di depan lab PRINT-G (dokpri)

"Ra, tau gak lampu di sini belum pernah diganti," ujar Teh Hera, laboran di tempat saya meriset, sembari menunjuk bohlam di ruangan uji FTIR yang kami sambangi saban hari.

"Kok bisa teh?" tanya saya balik.

"Iya, ini buatan ibu (Bu Camel). Pakai fosfor dia," imbuh Teh Hera.

Jika lampu LED biasa mampu menerangi hingga 20.000 jam (sekitar 2 tahunan), maka lampu buatan Bu Camel memiliki umur pakai yang lebih panjang. Setidaknya, saat saya berbincang dengan Teh Hera, lampu di ruangan tersebut telah menyinari selama kurun 4 tahun ke belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun