Mohon tunggu...
Hayunda Lail Zahara
Hayunda Lail Zahara Mohon Tunggu... Penulis - Author

Peramu rasa, peracik kata, pencipta nuansa

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Diary Perempuan Pejuang Energi

19 Juni 2024   15:25 Diperbarui: 19 Juni 2024   16:03 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diamond Barrier Savonius Helix Sumbu Horizontal (Sumber: ITS)

Perempuan adalah pengguna energi terbanyak. Tugas dasar rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, dan menemani anak belajar ketika malam hari seringkali dibebankan kepada perempuan akibat relasi kuasa yang tak seimbang. Sedangkan, para lelaki hanya mengambil peranan finansial dan teknis, seperti bekerja, memperbaiki rumah, dan membeli maupun menjual aset.

Pada 2021, tercatat bahwa setengah juta rumah tangga Indonesia hidup tanpa listrik. Bisa dibayangkan, kaum ibu dan anak lah yang paling terdampak. Ibu yang tak memiliki akses pada listrik dan peralatan elekronik menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menyelesaikan tugas rumah tangga. Kehilangan waktu yang sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk istirahat, bersosialisasi, menemani anak atau bahkan mengembangkan diri. Berusaha berdamai dengan keadaan, tetapi lampu minyak yang menerangi anak-anak mereka saat belajar membuat mata perih karena asap buangannya naik ke atas.

Meski menjadi barisan yang paling merana imbas kealpaan energi, nyatanya dari perempuan jugalah transisi energi bersih bisa diakselerasi. Saya mengenal beberapa perempuan yang berinovasi, membangun instalasi EBT, atau bahkan menjadi pengguna setia EBT (Energi Baru Terbarukan) yang telah memanen manisnya peradaban. Saya memanggil mereka pejuang energi dan inilah kisah mereka!

Thomas Alva Edison Wanita Indonesia

Dialah Prof. Camellia Panatarani, seorang dosen fisika, penjelajah alam, dan Thomas Alfa Edison edisi perempuan yang bermukim di kota kembang.

Bu Camel, begitu sapaannya, ialah juga dosen pembimbing saat saya tergabung dalam riset grup di lab nano PRINT-G (sekarang bernama FiNder U-CoE) yang ia kelola.

Saya (kerudung merah jambu) bersama kawan-kawan di depan lab PRINT-G (dokpri)
Saya (kerudung merah jambu) bersama kawan-kawan di depan lab PRINT-G (dokpri)

"Ra, tau gak lampu di sini belum pernah diganti," ujar Teh Hera, laboran di tempat saya meriset, sembari menunjuk bohlam di ruangan uji FTIR yang kami sambangi saban hari.

"Kok bisa teh?" tanya saya balik.

"Iya, ini buatan ibu (Bu Camel). Pakai fosfor dia," imbuh Teh Hera.

Jika lampu LED biasa mampu menerangi hingga 20.000 jam (sekitar 2 tahunan), maka lampu buatan Bu Camel memiliki umur pakai yang lebih panjang. Setidaknya, saat saya berbincang dengan Teh Hera, lampu di ruangan tersebut telah menyinari selama kurun 4 tahun ke belakang.

Prof. Camellia Panatarani (Sumber: FiNder U-CoE)
Prof. Camellia Panatarani (Sumber: FiNder U-CoE)

Lulusan program doktoral di bidang pemrosesan nanomaterial luminisensi dari Universitas Hiroshima Jepang tahun 2005 silam ini bertekad untuk dapat membuat lampu hemat energi di tanah air sendiri.

Halofosfor--- jenis fosfor yang biasa digunakan industri fluorescent (lampu hemat energi) kerap diimpor dengan biaya tinggi yakni ratusan dollar per kilonya.

Padahal, menurut Bu Camel, fosfor sebetulnya tersedia melimpah di alam Indonesia. Hanya saja, belum banyak orang yang terjun dan mengulik cara sintetisnya. Oleh karena itulah, Bu Camel tergerak untuk mengembangkan metode pembuatan halofosfor menggunakan Larutan Sederhana.

Lampu hemat energi (Sumber: Colin Behrens di Pixabay)
Lampu hemat energi (Sumber: Colin Behrens di Pixabay)

Berkat risetnya inilah, kini, industri dalam negeri mampu memproduksi lampu hemat energi dengan biaya yang rendah yakni puluhan dollar saja, dengan tingkat kecerahan lampu yang mumpuni. Buktinya, saat diuji cobakan di kediaman beliau, lampu 5 watt besutan Bu Camel dapat memproduksi sinar terang yang berlebih dibandingkan lampu 5 watt biasa yang menghasilkan cahaya remang-remang.

Atas sumbangan pemikirannya, Bu Camel banyak diganjar penghargaan. Salah satunya dari L'Oreal dan UNESCO pada kategori Women in Science tahun 2008.

Kabar terbaru yang saya dapatkan, Bu Camel kini tengah melebarkan jangkarnya ke lini energi lainnya. Seperti pembuatan sepeda listrik tenaga surya lengkap dengan stasiun pengisian daya di kampus Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan pengembangan mobil listrik sejak awal pandemi 2020. Hal ini beliau lakukan guna menyongsong cita-cita Net Zero Emission 2060 mendatang. Wah, keren sekali ya?

Duo Diamond Barrier

Setelah tadi kita tercerahkan oleh kisah Bu Camel dengan lampu hemat energinya, sekarang kita beralih ke dua sosok pemudi inspiratif pengendali air di Sungai Gending, Desa Kalinegoro, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Adalah Qonitina Luthfiya Amirah dan Rizkyatush Shalihah, dua sosok penemu kincir air Diamond Barrier yang menghasilkan energi listrik terbarukan.

Amirah dan Rizkiyatush (berseragam) tengah menunjukkan alat Diamond Barrier (Sumber: Sekolah Assalam)
Amirah dan Rizkiyatush (berseragam) tengah menunjukkan alat Diamond Barrier (Sumber: Sekolah Assalam)

Saya dengan Amirah dan Rizkiyatush tak sengaja bertemu saat kami sama-sama terlibat dalam suatu program kepemimpinan di tahun 2020 silam. Sependek ingatan saya, mereka termasuk delegasi termuda di antara 50 orang lainnya lintas nasional.

Amirah ini bisa saya katakan termasuk perempuan yang cerdik. Ia pernah bercerita, Diamond Barrier ini tak sengaja ia ciptakan lantaran kegemarannya bermain di sungai dekat rumahnya, Sungai Gending.

Sungai Gending memliki air yang jernih, aliran yang kontinu, dan tak pernah surut meski dihantam musim kemarau. Sehingga, banyak warga memanfaatkan air tersebut untuk mandi, mencuci, dan irigasi budidaya kangkung serta ikan air tawar.

Amirah yang saat itu tengah bersantai di gigir sungai dengan mencelupkan kaki mengamati bahwa ternyata aliran air yang dihambat oleh kaki berbeda dengan aliran yang tidak dihambat. Aliran air yang dihambat oleh kakinya terlihat membentuk pusaran-pusaran air. Ia kemudian bertanya-tanya, apakah dengan menambah penghalang pada salah satu kincir, maka arus aliran air akan fokus ke sisi lainnya sehingga dapat menghasilkan energi dalam jumlah yang optimal?

Potret Diamond Barrier sumbu vertikal rancangan Amirah dan Rizkiyatush (Sumber: Sekolah Assalam)
Potret Diamond Barrier sumbu vertikal rancangan Amirah dan Rizkiyatush (Sumber: Sekolah Assalam)

Dibantu dengan kawannya, Rizkiyatush, Amirah kemudian mewujudkan kincir air Diamond Barrier. Percobaan pertama mereka yang menggunakan sumbu vertikal menghadapi kendala lantaran sampah plastik seringkali menyumbat laju kincir.

Amirah dan Rizkiyatush tak kehabisan ide. Mereka lantas merotasi sumbu tersebut menjadi horizontal yang dinamai Diamond Barrier Savonius Helix Sumbu Horizontal. Sekarang, kincir air kedua mereka berhasil memasok listrik sebesar 500 watt dengan penyimpanan daya listrik (inverter) berkapasitas 6000 watt.

Diamond Barrier Savonius Helix Sumbu Horizontal (Sumber: ITS)
Diamond Barrier Savonius Helix Sumbu Horizontal (Sumber: ITS)

Kincir air ini ungkap Amirah, mampu beroperasi 24 jam penuh, tanpa bahan bakar, dan dapat diaplikasikan pada aliran air satu arah seperti sungai, dua arah seperti laut, atau bahkan selat sekalipun. Saat ini, sudah ada tiga rumah warga sekitar Sungai Gending yang dipasok listriknya dari kincir Diamond Barrier. Amirah hanya berharap kelak inovasinya ini dapat menembus bahtera yang lebih luas yakni daerah tapal batas lainnya yang belum terjamah atau sulit aksesnya akan listrik.

Mama Rovina, Ibu Tunggal yang Banyak Akal

Berbeda dengan dua pejuang energi sebelumnya yang memanfaatkan privilese keilmuan mereka untuk kemaslahatan masyarakat, kali ini kisah datang dari Mama Rovina yang berhasil membetulkan nasib keluarganya berkat menggunakan EBT.

Mama Rovina (Sumber: Kopernik)
Mama Rovina (Sumber: Kopernik)

Rovina Surat adalah orang tua tunggal yang bermukim di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2012, suami Mama Rovina yang izin merantau ke Malaysia tak pernah kembali dan kabarnya telah menikah lagi.

Mama Rovina yang putus sekolah saat SD dibuat kalang kabut mengenai nasib kedua anaknya yang masih sangat kecil. Saat itu saja, ia dan anak-anaknya tinggal menumpang di rumah paman Mama Rovina, yang bukan kaum berpunya.

Untuk kebutuhan sehari-hari, Mama Rovina pergi melaut mencari teripang (disebut menyuluh), cumi-cumi, dan rumput laut. Kalau sedang musim, Mama Rovina dan penduduk desa akan berburu madu di hutan, sebuah pekerjaan yang cukup berisiko.

Mama Rovina menyuluh teripang (Sumber: Kopernik)
Mama Rovina menyuluh teripang (Sumber: Kopernik)

Pendapatan Mama Rovina tiap bulannya tak menentu dan cenderung kecil. Hasil menyuluh misalnya, sangat tergantung dengan penerangan yang memadai. Listrik di desa Mama Rovina menyala kurang dari 10 jam setiap harinya dan sering mengalami kerusakan. Sehingga, Mama Rovina hanya mengandalkan petromaks yang menyala ala kadarnya sebagai penerangan kala malam.

Sampai di tahun 2013, Mama Rovina berkenalan dengan program kewirausahaan perempuan Kopernik yang mendistribusikan teknologi energi tepat guna dan ramah lingkungan. Tertarik dengan lampu tenaga surya, Mama Rovina lantas membelinya dengan cara dicicil.

Tak disangka, lampu tenaga surya ini mampu meningkatkan panen teripang Mama Rovina, mengingat teripang menyukai cahaya. Dari yang tadinya 1 kg atau setara Rp 300.000-, sekarang menjadi empat kali lipatnya.

Mama Rovina mendemonstrasikan lampu tenaga surya kepada warga Lembata (Sumber: Kopernik)
Mama Rovina mendemonstrasikan lampu tenaga surya kepada warga Lembata (Sumber: Kopernik)

Kemudahan penggunaan yakni dengan hanya "menjemur" lampu ini di siang hari sehingga siap pakai di malam hari membuat hidup Mama Rovina dan keluarganya semakin produktif. Tetangga yang melihat perbaikan hidup keluarga Mama Rovina, tertarik untuk mencicipi teknologi energi bersih ini.

Rumah baru Mama Rovina (Sumber: Kopernik)
Rumah baru Mama Rovina (Sumber: Kopernik)

Mama Rovina kemudian menjadi agen penjual lampu tenaga surya dan mendulang hasil fantastis. Selain lampu, ia turut pula menjual dan menggunakan teknologi penyaring air dan kompor bersih. Dua tahun berselang, Mama Rovina dapat membangun rumahnya sendiri yang dilengkapi dengan panel surya. Ia bahkan sekarang memiliki aset berupa logam mulia yang disimpan untuk kedua anaknya. Berkat energi terbarukan, Mama Rovina berhak memiliki masa depan, bukan?

Mama Rovina dan kedua putrinya (Sumber: Kopernik)
Mama Rovina dan kedua putrinya (Sumber: Kopernik)

*

Bila boleh mengibaratkan, keempat perempuan pejuang energi yang saya kisahkan barusan ialah matahari. Mengapa matahari? Karena meminjam perkataan Henry Ward Beecher, mereka tidak memilih bersinar untuk beberapa pohon dan bunga saja, tetapi mereka bersinar untuk kebahagiaan yang lebih luas. Untuk tanah air mereka, tetangga mereka, atau bahkan keluarga kecil mereka yang nyaris ditikam kesuraman nasib.

Energi tidaklah memiliki gender. Namun, transisi energi adil seringkali membuka jalan bebas hambatan bagi kaum perempuan untuk dapat berdaya.

Bersama Oxfam, mari jadi perempuan pejuang energi berikutnya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun