Lulusan program doktoral di bidang pemrosesan nanomaterial luminisensi dari Universitas Hiroshima Jepang tahun 2005 silam ini bertekad untuk dapat membuat lampu hemat energi di tanah air sendiri.
Halofosfor--- jenis fosfor yang biasa digunakan industri fluorescent (lampu hemat energi) kerap diimpor dengan biaya tinggi yakni ratusan dollar per kilonya.
Padahal, menurut Bu Camel, fosfor sebetulnya tersedia melimpah di alam Indonesia. Hanya saja, belum banyak orang yang terjun dan mengulik cara sintetisnya. Oleh karena itulah, Bu Camel tergerak untuk mengembangkan metode pembuatan halofosfor menggunakan Larutan Sederhana.
Berkat risetnya inilah, kini, industri dalam negeri mampu memproduksi lampu hemat energi dengan biaya yang rendah yakni puluhan dollar saja, dengan tingkat kecerahan lampu yang mumpuni. Buktinya, saat diuji cobakan di kediaman beliau, lampu 5 watt besutan Bu Camel dapat memproduksi sinar terang yang berlebih dibandingkan lampu 5 watt biasa yang menghasilkan cahaya remang-remang.
Atas sumbangan pemikirannya, Bu Camel banyak diganjar penghargaan. Salah satunya dari L'Oreal dan UNESCO pada kategori Women in Science tahun 2008.
Kabar terbaru yang saya dapatkan, Bu Camel kini tengah melebarkan jangkarnya ke lini energi lainnya. Seperti pembuatan sepeda listrik tenaga surya lengkap dengan stasiun pengisian daya di kampus Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan pengembangan mobil listrik sejak awal pandemi 2020. Hal ini beliau lakukan guna menyongsong cita-cita Net Zero Emission 2060 mendatang. Wah, keren sekali ya?
Duo Diamond Barrier
Setelah tadi kita tercerahkan oleh kisah Bu Camel dengan lampu hemat energinya, sekarang kita beralih ke dua sosok pemudi inspiratif pengendali air di Sungai Gending, Desa Kalinegoro, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Adalah Qonitina Luthfiya Amirah dan Rizkyatush Shalihah, dua sosok penemu kincir air Diamond Barrier yang menghasilkan energi listrik terbarukan.