Mata saya tertawan di simpang jalan ketika subuh mulai rekah. Busa, bau busuk, dan air yang nyaris kepenuhan mengisi selokan sekitar kediaman saya.
Rasanya kurang tepat jika bersih di rumah sendiri dan kotornya pindah ke selokan, sungai, dan berakhir menuju laut lepas.
Saya jadi teringat perkataan salah seorang tabiin bernama Muhammad bin Aslam yang membahas konsep kesadaran pribadi.
Ia rahimahullah berkata, "Saya di rahim ibu sendiri, di tulang punggung ayah sendiri, di dalam kuburan sendiri, saat meniti siratal mustaqim sendiri, masuk surga ataukah neraka juga sendiri. Lalu, mengapa saya perlu mengikuti orang-orang yang berbuat keburukan? Padahal, saya tahu bahwa saya sendiri yang akan menanggung akibatnya."
Kalau saya boleh menafsirkan perkataan tabiin tersebut, maka sebetulnya ghibah dan sampah adalah perkara yang sama berdosanya lantaran kita senang ikut-ikutan.
Ikut-ikutan menggosip, mendatangkan tumpukan dosa.
Ikut-ikutan membuang sampah sembarangan, mendatangkan bala bencana dan aneka penyakit.
Limbah Domestik yang Pelik
Percaya atau tidak, sebesar hampir 40 persen komposisi sampah Indonesia bersumber dari rumah tangga (KLHK, 2022). Yang jadi masalah adalah seonggok sampah ini belum terkelola dengan optimal sehingga menumpuk di Tempat Pemroses Akhir (TPA) atau justru terhanyut di sungai menuju lautan.
Beberapa bulan lalu buktinya. Kota saya, Solo, dilalap si jago merah dalam skala besar. Pertama, kebakaran dua hektar TPA Putri Cempo yang dipicu oleh pertemuan gas metana dari tumpukan sampah rumah tangga dengan panas ekstrim. Kedua, kebakaran gudang rongsok berjarak < 500 m dari kediaman saya yang diakibatkan aktivitas bakar sampah.
Seumur hidup, baru kali itu saya menyaksikan adegan menegangkan api berkobar-kobar persis dari balik balkon rumah saya. Sirine DAMKAR menyala tak henti-henti selama 3 hari 2 malam. Kabarnya, ini lantaran gudang tersebut menampung sampah ban bekas dan plastik yang mudah terbakar.
Jika ditanya saat itu rasanya bagaimana? Waduh, gemetar seperti hidup akan tamat esok hari. Semua orang berusaha menyelamatkan diri, tetapi lupa bahwa yang mesti diselamatkan terlebih dahulu adalah pikiran manusia itu sendiri agar tak lagi memperalat alam. Begitulah kira-kira testimoni saya selaku saksi mata kebakaran ini.
Air yang Juga Merana
Selain kebakaran, masalah kelas wahid lain yang mendera permukiman tempat saya tinggal ialah soal pencemaran air dan mampetnya selokan.
Saya perhatikan bahwa pemerintah selama ini hanya memfasilitasi penanganan black water atau limbah kakus saja. Sementara, grey water yang merupakan limbah domestik cairan bekas cucian baju, peralatan masak, air basuhan mandi dan keramas ini terabaikan. Berdasar PP No. 22 Tahun 2021, grey water ini perlu diolah terpisah dengan aliran air yang lain. Mengapa?
Karena grey water mengandung lemak dan fosfat. Lemak dari hasil cucian peralatan masak akan membuat mampet pipa pembuangan. Sedangkan, fosfat asalnya dari surfaktan (bahan penstabil campuran minyak-air) yang ada di deterjen dan sabun komersial.
Fosfat yang terlarut dalam aliran selokan tak hanya mengeluarkan aroma kurang sedap dan mengurangi estetika lingkungan, melainkan juga memicu eutrofikasi, pengasaman air, kematian ikan, dan penurunan mutu air yang dampaknya terasa hingga Sungai Bengawan yang bermuara ke Laut Jawa.
Saat musim kemarau tahun lalu, saya nyaris tak bisa mandi lantaran aliran PDAM menuju rumah saya disetop imbas pencemaran air kelas berat di Sungai Bengawan. Sebaliknya, saat musim penghujan, kami kerap menjadi pelanggan banjir setinggi mata kaki akibat sumbatan sampah plastik yang dibuang seenaknya di selokan.
Apalagi, kami juga serasa dihadapkan dengan risiko kesehatan yang serius. Pernah dengar BPA?
BPA atau Bisphenol AÂ adalah bahan pembuat plastik untuk kemasan pangan dan juga bahan pengikat warna (dye-fixing) pada bahan tekstil berbasis plastik. BPA ada di mana saja? Pada botol susu bayi, wadah makanan plastik, air minum kemasan, makanan kaleng, tekstil berbahan poliester, poliamida, dan nilon.
Agak sulit memang membuktikan bahaya plastik seketika itu juga selain dari selokan rumah saya yang sering mampet. Namun, tahukah kamu bahwa BPA dan mikroplastik (partikel plastik berukuran kecil) yang tertelan oleh manusia bisa membentuk zat berbahaya bernama xenoestrogen. Apa itu?
Xenoestrogen adalah estrogen palsu yang akan memicu produksi berlebih estrogen dibandingkan baseline normal di dalam tubuh. Akibatnya, tubuh bisa mengalami gangguan hormon berupa pubertas dini, nyeri haid (endometriosis), kemandulan, gangguan sistem saraf, anak terlahir ADHD, autisme, bahkan penyakit autoimun yang marak diidap saat ini.
Berkah Gaya Hidup Minim Sampah
Ingat bahwa setiap produk apapun bahannya mempunyai dampak ekologis. Dengan gaya hidup minim sampah, kita tak hanya membantu mengurangi jumlah limbah, melainkan juga menebus dampak ekologis pada setiap tahapan pembuatannya.
Ibarat mengenakan payung. Payung tidak dapat menghentikan hujan, tetapi dengan payung, tubuh kita terlindung dari terkena basah.
Oleh karenanya, saya ingin menjadi konsumin (konsumen minimalis) yang dapat menjaga lingkungan dari limbah domestik semampu saya. Yuk, ikuti kiat-kiat saya!
Membuat Sabun Alami
Ketika saya belum mampu membuat instalasi daur ulang grey water yang memadai di rumah, maka artinya saya mesti menghentikan sampah itu dari sumbernya. Kini, saya beralih ke produk sampo alami buatan sendiri.
Saya membuatnya dari tiga bahan yakni lerak, benih lenan (flaxseed), dan garam. Saya menggunakan lerak karena ia mengandung saponin untuk efek cuci dan busa alami. Sedangkan, benih lenan kaya akan omega 3, vitamin E dan B, antioksidan, lignan, magnesium, dan selenium yang bagus untuk kesehatan rambut, serta garam sebagai pengawet alami.
Bahan-bahan tersebut saya beli dari pasar tradisional di kota saya, Pasar Gede. Lengkap sekali di sana dan harganya sangat murah!
Oh iya, sampo ini juga dapat berfungsi sebagaimana sabun mandi. Karena berbahan alami, jadi cocok juga untuk dipakai orang berkulit sensitif, ibu hamil, dan anak-anak.
Untuk yang belum pernah coba, sampo sekaligus sabun alami ini tidak beraroma, berbusa sedikit, lebih menyegarkan, dan membuat kulit lembab ketimbang produk komersial.
Tahan berapa lama? Dua minggu di dalam kulkas dan beberapa hari di suhu ruang. Durasi penghabisan sabun yang pas bagi keluarga dengan personil empat orang. Mantap, kan?
Membuat Eco-enzyme
Langkah kedua yang saya lakukan untuk hidup minim sampah adalah dengan membuat cairan ajaib bernama eco-enzyme.
Eco-enzyme adalah cairan pembersih yang terbuat dari fermentasi campuran sisa dapur yakni sampah sayur atau kulit buah, gula (molase), dan air.
Foto di atas adalah eco-enzyme pertama yang saya buat pada tahun 2020. Bahan utamanya adalah kulit buah mangga, pepaya, dan pisang. Kalau kamu suka aroma segar, maka saya sangat menyarankan untuk menambahkan sisa kulit jeruk ya! Nah, bagaimana cara membuatnya? Kamu bisa cek di sini ya!
Eco-enzyme ini bisa digunakan untuk mengepel lantai, membersihkan kompor, jendela kaca, dan bahkan untuk mencuci baju! Sebelum digunakan, jangan lupa diencerkan dulu ya! Biasanya, saya mengencerkan 15 mL eco-eznyme dalam 300 mL air untuk membersihkan area dapur. Cairan ini ampuh untuk mengusir semut, kecoa, nyamuk, dan serangga, lho.
Memilah Sampah
Manajemen sampah Indonesia sayangnya belum satu pintu dalam hal pemilahan sampah. Tapi, bukan berarti kita boleh pasrah dengan sampah tak terpilah dong!
Sampah organik yang terkumpul biasanya saya buat jadi eco-enzyme dan sisanya dikompos. Lumayan, bisa jadi pupuk buat tanaman saya. Ini nih melon balita yang tumbuh subur di kebun kecil saya. Rasanya manis sekali!
Lalu, ada sampah kaca baik dari bekas toples madu, botol sirup, dan pecahan kaca. Toples kaca bekas madu masih bisa saya gunakan kembali untuk menyimpan bubuk teh atau biskuit. Kalau botol sirup kaca dan pecahan kaca biasanya saya berikan pada tukang sampah keliling untuk dia tukar dengan uang. Kata beliau, sampah kaca cukup cuan!
Hal yang sama saya lakukan untuk sampah kertas. Berikan ke pengepul saja.
Sedangkan, demi menghindari sampah plastik, saya selalu membawa tas kain untuk mengemas belanjaan. Lihat deh, tas rajut saya ini bikin semangat beli buah tanpa sibuk nyampah, kan?
Kalau sudah memboyong tas kain, tumbler, mengutamakan refill, dan menjadi tim kokop (sebutan orang yang minum tanpa sedotan plastik), tapi masih ada sampah plastiknya ya solusinya adalah mencuci sampah plastik hingga bersih dan kering lalu menyalurkannya pada waste manager atau bank sampah terdekat untuk didaur ulang. Di kota saya, sampah plastik biasa diolah menjadi alas salat saat lebaran. Di Lombok lebih kreatif lagi, dijadikan anyaman topi dan tas yang cantik.
Terus, untuk barang-barang elektronik yang sudah mulai soak bagaimana? Itu kan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Untuk gadget biasanya saya pakai prinsip tukar tambah, bisa di toko resminya atau melalui marketplace. Nah, kalau baterai bekas, bola lampu, mainan remote kontrol anak, charger, laptop, dan alat penanak nasi yang rusak bisa diolah melalui start-up E-waste RJ. Simpel, ya?
Selain perjuangan hijau saya yang bersifat kemandirian pribadi, ada aksi hijau konsisten yang dilakukan oleh Elnusa Petrofin perusahaan penyedia energi di nusantara. Sepanjang 2023, Elnusa Petrofin telah menanam 37 hektar pohon, menebar 4.490 bibit mangrove, menyediakan ruang terbuka hijau, dan membantu penyebaran literasi iklim bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Menuju nol emisi tahun 2060 yang semoga datang lebih cepat, harapannya Elnusa Petrofin juga dapat bertransisi ke arah energi bersih baik melalui diversifikasi produk maupun dengan membangun pangkalan energi terbarukan ya!
Penutup
Mungkin kemuliaan hidup tidak cukup diukur dari besar-kecilnya materi yang dapat kita kumpulkan, melainkan dari ketulusan niat dan keberanian bertindak. Mari berjanji untuk mewujudkan Indonesia lebih lestari lewat gaya hidup minim sampah! Karena hidup sejatinya untuk mencari berkah, bukan malah sibuk menyampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H