Diakui bahwa mimpi untuk dapat mendaki Pyramid Carstensz tersebut bukanlah sebuah mimpi yang mudah untuk diwujudkan. Selain karena memang medannya yang memang berat seperti alam yang terjal, suhu yang sangat dingin, angin kencang dan hujan, serta minimnya oksigen di daerah ketinggian.
Disamping itu yang juga tak kalah memberatkan adalah, mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan wisatawan/pendaki untuk dapat menjelajahi pegunungan tersebut serta ditambah lagi dengan sulitnya mengurus izin, membuat Piramid Carstensz saat kini berada di peringkat ketiga termahal di dunia.
Adapun penyebb mahalnya biaya pendakian ke puncak Cartensz itu tak lain disebabkan oleh, karena memang letak gunungnya yang sulit dijangkau. Dari Jakarta, pendaki harus menggunakan pesawat menuju Nabire, Papua selama enam jam. Setelah itu dari Nabire harus menyambung lagi dengan pesawat kecil ke Desa Sugapa di Kabupaten Intan Jaya. Diluar itu masih ada biaya porter dan pemandu selama dua minggu pendakian, serta biaya peralatan pendakian kelompok, makanan, dan minuman. Disamping itu faktor keamanan juga membuat biaya pendakian ke pyramid carstensz ini jadi mahal itupun masih ditambah dengan banyaknya biaya yang tak terduga, sehingga membuat biaya bisa naik 100 persen,
Biaya porter yang mahal tersebut sesunggguhnya terjadi karena belum adanya sistem pemberian gaji untuk para porter. Harga porter untuk sekali perjalanan pendakian Puncak Carstensz ini berkisar Rp 7-8 juta. Sementara, untuk satu orang pendaki membutuhkan dua porter. Ok, mungkin melihat bersarnya angka itu, tentu buat pendaki sudah menganggap upah atau bayaran itu mahal. Namun ternyata uang segitu, hanya cukup untuk membiayai hidup mereka (porter) sehari-hari karena memang harga barang-barang di desanya mahal-mahal.
Untuk itu seperti yang dikatakan Maximus Tipagau, salah seorang pemuda asal Papua yang menjalankan Adventure Carstensz tour travel, mengatakan bahwa mereka membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk dapat membantu masyarakat Papua dalam mengelola Puncak Carstensz ini. Mungkin dengan jalan memberikan pelatihan pemahaman ke pariwisataan, pemerintah juga dimintanya untuk membangun infrastruktur khususnya yang terkait dengan jalur pendakian ke Puncak Carstensz.
Menurut Maximus Tipagau, sudah saatnya pemerintah dalam hal ini Kemenpar duduk bareng bersama masyarakat papua guna membahas soal pengelolaan Puncak Carstensz ini. menurutnya orang-orang papua harus bisa menjaga dan melestarikan keindahan alam di sana demi pariwisata. Karena dengan pariwisata jugalah, mereka bisa hidup sejahtera. Jadi intinya Menurut Maximus, suku-suku Papua yang tinggal di sekitar Puncak Carstensz jangan hanya menjadi penonton saja. Mereka harus turun langsung untuk mengelola destinasi-destinasi di sana.
Apa lagi seperti yang diberitakan, akibat pemanasan global, salju abadi di Puncak Cartensz diperkirakan bisa menyusut dan bahkan mungkin saja bisa mengering. Hal itu diketahui dari hasil penelitian oleh ahli Iklim dan Laut Indonesia Dwi Susanto,dari University of Maryland, Washington DC, Amerika Serikat. yang menyimpulkan bahwa endapan es di pegunungan ini dari tahun ke tahun mengalami penyusutan yang serius. Sehingga, bukan tidak mungkin kelak pegunungan ini akan kehilangan salju seperti yang terjadi pada Gunung Kilimanjaro di Tanzania.
Fenomena melelehnya salju abadi di Puncak Pegunungan Jaya Wijaya ini dikatakan sejatinya sudah terpantau sejak lama. Saat ia melakukan penelitian mewakili Lamont-Doherty Earth Observatory Columbia University, Amerika Serikat. Hasil penelitiannya saat itu menyimpulkan bahwa kandungan tertua es di Puncak Jaya hanya mendapati inti es tahun 1920. Prediksi yang semula bisa mendapati kandungan es beribu-ribu tahun tak didapatkan.