Kita semua tentu pasti masih ingat dengan gaya bermain sepakbola yang sempat populer di seantero jagat raya ini beberapa waktu yang lalu. Ya…Tiki-taka sebuah pola permainan yang lebih menekankan pada ball Possession atau penguasan bola dipopulerkan oleh klub Barcelona dan Timnas Spanyol. Di mana gaya ini lebih bertumpu kepada umpan-umpan pendek dengan arah pergerakan bola yang bervariasi untuk memaksimalkan penguasaan bola dalam sebuah pertandingan.
Kunci dari permainan gaya Tiki-taka ini adalah kerja sama tim yang harus terkoordinasi dengan sempurna. Taktik ini membuat para pemain bisa bermain lebih santai, namun tetap mampu menguasai bola lebih lama. Taktik ini terbilang sangat sempurna membawa Barcelona dan Spanyol mendominasi dan memonopoli kemenangan disemua turnamen yang diikutinya termasuk dua piala Liga Eropa dan Piala Dunia.
Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana pemain Timnas Spanyol Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Xabi Alonso serta Cesc Fabregas dalam menerapkan taktik yang menarik dan indah ini, bola terasa lengket dan sulit disentuh para pemain lawan. Mereka begitu leluasa menggiring bola dalam waktu yang lama.
Tapi apa yang terjadi pada EURO 2016? Spanyol harus mengakui keunggulan Italia yang kalau dilihat dari statistik pertandingannya hanya menguasai 40 persen ball possession. Taktik tiki-taka ternyata sudah tak mampu menembus pertahanan Italia. ball possession ternyata sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk meraih kemenangan! Dengan demikian dapat dikatakan Piala Eropa 2016 resmi menjadi tahun kematian bagi taktik tiki-taka. Bisa dikatakan, Piala Eropa 2016 adalah sekaligus menjadi momentun untuk mengucapkan selamat tinggal kepada taktik tiki-taka dan ball possession.
Berikutnya yang bisa juga di jadikan contoh kasus adalah kemenangan Portugal saat mengalahkan Prancis di final Piala Eropa 2016 lalu, meski penguasaan bola Portugal jauh di bawah Prancis mereka berhasil menang 1-0 dan sebelumnya juga hal yang sama terjadi pada partai semifinal antara Prancis vs Jerman dimana tim Jerman atau Die Panzer itu begitu dominan tapi akhirnya harus mengakui keunggulan dari Les Bleus (Prancis) mereka kalah dengan skor 0-2.
Perubahan dalam pola taktik permainan sepakbola itu sebetulnya sudah mulai terlihat pada Piala Dunia 2014 di Brasil, di mana waktu itu terbukti dan sesuai data 16 tim yang menang penguasaan bolanya hanya di bawah 45 persen. Trend itu sepertinya berlanjut terus hingga 2015 dan 2016 ini.
Beberapa waktu yang lalu kita juga ingat pelatih Arsenal Arsene Wenger juga pernah mengatakan ketika timnya mengalahkan Manchester City 2-1 Desember 2015 lalu, di mana kala itu ia mengatakan bahwa tidak percaya ball possession akan selalu memenangkan sebuah pertandingan. “Penguasaan bola tidak bisa diharapkan lagi seperti sebelumnya,” kata Wenger dan menambahkan “Ini untuk pertama kali di Liga Primer dimana penguasaan bola tidak banyak bermanfaat. Saya bertahan dengan filosofi saya, tetapi saya juga seorang pengamat dan saya juga melihat statistik semua pertandingan. Saya mencoba memahami, ini ada perubahan yang baru,” Wenger juga menyimpulkan bahwa penguasaan bola sudah tidak penting lagi untuk meraih kemenangan. Justru yang dipentingkan adalah komposisi pemain yang punya kemampuan sama serta memiliki kecepatan tinggi, dan stamina yang kuat itulah yang menjadi utama.
Bisa dikatakan bahwa tiki-taka adalah sebuah gaya yang sangat modern, lengkap, dan indah untuk ditonton. Apa yang diperlihatkan Spanyol dengan gaya Tiki-takanya membuat Spanyol terlihat bermain bertenaga, agresif, dan lincah. Tiki-taka menjelma menjadi penanda dimulainya era baru sepakbola menyerang dan matinya era sepakbola “parkir bus” yang defensif dan membosankan.
Dengan gaya itu Spanyol mampu menyuguhkan “final impian” di Piala Dunia 2010 ketika melawan Belanda, dan untuk pertama kalinya kala itu Tiki-taka benar-benar beradu dengan Total Football. Sepanjang pertandingan penonton disuguhi permainan ofensif yang seru, tegang, dan mendebarkan dari kedua kesebelasan. Akhirnya Spanyol berhasil membuktikan keungulannya tiki-takanya dan memanangkan laga itu dengan skor tipis 1-0, mereka juara dunia dengan sepakbola menyerang!
Begitu juga di Final Piala Eropa 2012, Spanyol bertemu Italia lewat sebuah pertandingan yang “menarik”. Spanyol dengan gaya sepakbola tiki-takanya kembali menang dengan skor telak 4-0. Mereka membuktikan bahwa kala itu (di dunia ini) sudah tidak ada ruang lagi untuk bermain dengan gaya-gaya defensif.
Tapi harus diingat bahwa apapun didunia ini tidak ada yang kekal dan abadi ,sebuah kejayaan juga memiliki masa dan eranya masing-masing. Kekalahan Spanyol 0-3 dari Brazil di final Piala Konfederasi 2013 menjadi pertanda bahwa siklus kejayaan Spanyol sudah menurun, Berikutnya ditambah lagi dengan kekalahan mengejutkan 0-1 dari negara sekelas Georgia (peringkat ke 118 Dunia) yang terjadi hanya enam hari sebelum ajang pesta Piala Dunia mini atau Piala Eropa ini berlansung, tentu akhirnya banyak menimbulkan pertanyaan seperti apa kualitas tim dan gaya permainan yang akan ditampilkan Spanyol pada Euro 2016 lalu itu.
Salah satu bukti dari ketidak berdayaan pemain-pemain Spanyol saat memainkan pola yang sudah menjadi mashab mereka itu adalah terlihat ketika saat mereka melawan Italia kemarin di Euro 2016 lalu. Tentu awalnya banyak yang menyangka mereka (Spanyol) akan mengeluarkan gayanya seperti yang sudah-sudah dan akan mengurung Italia dengan umpan-umpan pendeknya, namun diluar dugaan hal sebaliknya terjadi Italia yang memainkan sistem blokade rantai dan mengandalkan serangan balik. Itu membuat Spanyol kewalahan dan kocar kacir meladeni permainan Italia tersebut.
Italia tampil dengan strategi yang mematikan hasil dari racikan Antonio Conte yang terbukti mampu mengekspos kelemahan Spanyol. Mereka seperti kebingungan melihat gelombang serangan Italia. Bahkan sampai seorang Andres Iniesta pemain dengan segudang pengalaman itu nyaris tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Kekalahan Spanyol 0-2 dari Italia itu bukan hanya sekadar menjadi kekalahan biasa, tapi sudah menjadi kekalahan sebuah gaya/pola bermain. Harus diakui bahwa siklus tiki taka sudah tamat permainan defensif mulai merangsek kembali mengambil peran di percaturan sepakbola dunia. Piala Eropa 2016 menjadi bukti.
Dengan kekalahan itu dapat dikatakan bahwa takdir sudah mengharuskan Spanyol pulang lebih awal dari seharusnya, Spanyol harus rela mahkota juara Eropa yang berhasil mereka raih secara berturut-turut (2008 & 2012) dicopot dengan mudahnya. Seperti yang dikatakan Gerard Pique“Semuanya dimulai dan diakhiri saat melawan Italia. Kami bukan lagi yang terbaik. 2008-2016”. dan menambahkan "Kami harus menjalani evaluasi besar-besaran, terutama dalam hal gaya bermain,”serta “Kami tak lagi memiliki level seperti yang kami punya beberapa tahun lalu. Kami terlalu bertumpu pada nama besar dan masa lalu kami. Kini, kami bukan lagi yang terbaik.”akhirnya memang harus diakui bahwa takdir pun sudah menentukan batas waktu bagi sang mitos sebuah titik dimana mereka harus berhenti ……….. Adiós, matador.
Salam Olah Raga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H