[caption caption="soccer.sindonews.com"][/caption]
Kisruh PSSI Vs Menpora/Pemerintah telah memasuki bulan ke sebelas. Seperti memang tidak akan kunjung menemukan solusinya, karena memang keduanya merasa benar sudah melakukannya sesuai dengan aturan yang harus diikuti.
Sudah empat Menpora yang mengalami Kisruh sepakbola ini mulai dari Menpora Adhyaksa Dault, yang sesungguhnya pada masanyalah terjadinya pembiaran terhadap Ketum PSSI yang memimpin dari Penjara (NH), tapi lucunya kemaren pada saat acara ILC berakhir kisruh diluar acara itu, beliau marah-marah karena wakil dari FDSI mengatakan 'suntik mati PSSI' beliau dengan muka beringas langsung minta dicabut pernyataan wakil dari FDSI itu. Sementara dia lupa judul atau tema dari acara itu sendiri “PSSI ANTARA HIDUP DAN MATI” kenapa beliau tidak juga minta kepenangung jawab acara Karni Ilyas untuk menganti tema acaranya dengan PSSI ANTARA CAIR DAN BEKU seperti meme yang ramai beredar?
Kemudian dilanjut oleh/dengan Menpora Andi Malaranggeng dan Roy Suryo yang keduanya dinilai sama, tidak memberikan arti bagi pembaharuan di sepakbola Indonesia khususnya di PSSI. Sehingga para pengurusnya yang ada semakin bertambah nyaman berada di zona nyamanya tampa merasa ada sesuatu yang salah. Amburadulnya menejemen Kompetisi mulai dari Gaji pemain yang tak terbayar, mogok main, kematian/merananya pemain asing karena gajinya tidak dibayar, adanya sepakbola gajah, tidak jelasnya aturan Club Licensing Regulation/ keabsahan sebagai persyaratan untuk berkompetisi yang memang tidak menjadi perhatian. Sehingga pada saat di verifikasi oleh BOPI maka semuanya menjadi terungkap seperti kebobrokan yang terjadi selama ini. Sementara pengurus yang memang penerima beban estavet dari kepengurusan yang lama itu hanya bisa menutup mata dan berkoar-koar bahwa akan dilakukan pembenahan tapi semua itu tak pernah terrealisasi sehingga terjadi pembiaran yang secara terus menerus.
Berikutnya di Era kepemimpinan Presiden Jokowi, hadir seorang Menpora yang dikatakan tidak mengerti olah raga, mencoba melakukan pembenahan dibidangnya, sejalan dengan wacana reformasi di segala bidang yang dijalankan kepemimpinan presiden Jokowi ini. Mereka pun gelagapan dan melakukan perlawanan penolakan dengan sekuat tenaga kembali bermodalkan Statuta 'kitab suci' nya sebagai acuan, tampa peduli dengan aturan hukum yang berlaku di negri ini.
Sejujurnya mungkin semua pecinta sepakbola di negri ini, bisa dikatakan tidak ada satupun yang bisa memungkiri bahwa PSSI itu memang harus direformasi. Pengurus PSSI tidak lagi bisa duduk manis di tahta kerajaanya dengan menafikkan berbagai tuntutan pembenahan, hanya dengan berdalih tidak sesuai 'kitab suci' nya yang bernama Statuta FIFA itu. Padahal belakangan Statuta itu sendiri katanya diamandemen oleh FIFA.
[caption caption="twitter/niken oktaviani"]
Ditambah lagi karakter Presidennya (PSSI) yang selalu merasa paling benar paling mengetahui, seperti Kasus terakhir yang sedang ramai dibicarakan, terkait dengan komentarnya yang kalau kita lihat dari berbagai media ditulis dengan ‘huruf besar semua’ padahal sudah jelas dalam pedoman penulisan huruf kapital sudah diatus pengunananya dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Sudah jelas tata cara pengunaan/pemakaian huruf kapital dalam sebuah penulisan, tapi itulah sikap arogansi dan pamahaman yang memang selama ini dianut beliau ”saya yang paling benar dan suci” akhinya yah beginilah jadinya. Berikut sebagaian kutipan dari pernyataan beliau yang bisa dikaitkan dengan tulsian diatas “PAK PRESIDEN JOKOWI SAYA SEBAGAI RAKYAT BIASA MEMOHON UN(TU)K MENPORA IMAM NAHROWI SEBAIKNYA DIGANTI SAJA. DIA TIDAK MAMPU DAN BUKAN SEBAGAI ORANG YANG MENGERTI OLAHRAGA”.
Bagaimana bisa seorang presiden PSSI yang berada diluar struktur pemerintahan meminta Presiden untuk mengantikan pembantunya (Menteri) yang notabene diangkat atas kewenangannya beliau sebagai presiden? Apa lagi alasannya hanya karena sang Mentri tidak mengakomodir keinginannya (Presiden PSSI), karena dinilai tidak sejalan dengan keinginan pemerintah terkait dalam berbagai hal menyangkut cabor yang dipimpinnya.
Sementara beliau sendiri ‘lupa’ bahwa kisruh sepakbola ini sesungguhnya merupakan warisan atau dapat dikatakan terjadi sejak kehadirannya beliau sebagai penerima estavet beban masa lalu (NH) yang membuat persepakbolaan Nasional menjadi seperti sekarang ini. Anehnya lagi bagaimana bisa mengatakan Menpora tidak mengerti olah raga/sepakbola sementara dia sendiri juga bisa dikatakan tidak memiliki basic olah raga/sepakbola selain dari hanya bermodalkan sebagai ketua ‘sempalan’ PSSI kala itu yaitu KPSI yang katanya Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia periode 18 Mret 2012 s/d 18 Maret 2013 dan berikutnya pernah juga menjabat sebagai Wakentum PSSI periode 17 Maret 2013 – 18 April 2015. Sementara kalau seorang menteri jelas mereka menjabat sebuah jabatan politis dan Fungsional
Tapi yah sudahlah biarkan saja, sepertinya memang kondisi ini tak akan pernah berubah kalau saja para penerima esatavet beban masa lalu itu masih saja tetap duduk disingasananya dalam kepengurusan sepakbola ini, padahal sudah tak terhitung lagi berbagai sikap arogan dan menantang yang dipertontonkan pak presiden PSSI ini terhadap apa saja yang dianggap menghalanginya. hal inilah yang sesungguhnya tidak secara jujur diakui oleh sebagian pihak termasuk dari sesame penulis di Kompasiana Rubrik sepakbola ini.
Berikutnya yang sekaligus menjadi poin dalam tulisan ini, yaitu terkait dengan pernyatan beliau dalam berita yang sama masih dengan huruf kapital “KALO MASIH ADA ORANG YANG MAU BERGABUNG DENGAN TIM KECIL MENPORA ITU SAMA SAJA TIDAK PAHAM STATUTA. DAN SAYA SANGAT YAKIN KALO SEMUA PERSONIL YANG ADA DI TIM KECIL TIDAK PERNAH DIHUBUNGI. SEBAIKNYA IMAM NAHROWI MUNDUR SAJA SEBAGAI MENPORA KARENA SUDAH JELAS DIA TIDAK MAMPU MENYELESAIKAN URUSAN SEPAKBOLA. KALO MAU PERBAIKI SEPAKBOLA HARUS MELIBATKAN PSSI. SILAHKAN BERGABUNG SAJA DI TIM ADHOC PSSI.”
Bagaimana bisa beliau memaksa/mengharuskan pemerintah turut bergabung dalam Komite Ad Hoc (PSSI) yang tujuan/kerjanya yang terlihat tak lain dari hanya sekedar meminta pencabutan atas pembekuan PSSI, suka atau tidak suka memang itulah yang terlihat selama ini, enam kali tim ad hoc ini mengadakan rapat (seperti yang diberitakan) kita belum pernah mendengar secara kongkrit reformasi apa yang sudah atau akan dilakukan tim oleh ad hoc ini selain dari meminta pencabutan sanksi PSSI?
[caption caption="twitter.com/Abdulla Emir P"]
Sementara Menpora sudah jelas bekerja atas arahan atasanya yaitu Presidien Republik Indonesia, jadi tentu dapat dibenarkan kalau apa yang pernah dikatakan Menpora sebelum ini dalam sebuah wawancara yang mengatakan bahwa “Saya kira ini bukan semata-mata pendirian kaku, melainkan komitmen. Presiden ingin menagih komitmen FIFA dan AFC, yang di hadapan Presiden waktu itu bersepakat membentuk tim kecil, pemerintah bersama FIFA, untuk mencari jalan keluar bagi PSSI. Pemerintah berkepentingan memastikan bahwa industri bola ini harus hidup tanpa ada cawe-cawe mafia. Biarlah klub yang mengurus ini semua. Federasi harus punya jarak yang tegas dengan operator. Sehingga dia bisa mengawasi betul,membuat regulasi, membuat aturan main yang sesuai dengan statuta FIFA.”
Jadi poinya adalah, PSSI sebagai obyek harus dibenahi oleh induk federasinya (FIFA) bersama pemerintah yang menghukum, Tapi faktanya setelah perwakilan FIFA & AFC itu keluar dari Istana keputusannya menjadi berubah berikutnya muncullah tim Ad-Hoc yang melibatkan PSSI dan Pemerintah justru diminta untuk terlibat di situ.
Padahal, yang diharapkan pemerintah adalah seperti yang sudah disetujui FIFA-AFC sebelumnya pemerintah bersama FIFA-AFC duduk bersama. Dua pihak saja induk federasi (FIFA) dan orang yang mengintervensi (Pemerintah) anak buahnya federasi (PSSI). Jadi dengan demikian diharapkan tidak akan ada konflik kepentingan.
Semoga saja tulisan sekaligus bisa menangapi beberapa tulisan yang muncul belakangan ini yang seakan-akan pemahaman sudah sama seperti pemahaman juraganya sang Presiden PSSI itu bahwa 'saya yang paling benar dan suci' atau bisa dikatakan juga dengan 'saya yang paling tahu tentang sepakbola Indonesia' jadi apapun yang dikatakan orang lain adalah salah Hmmmm......hebat sekali yah…he..he…terakhir juga ada yang memperolok-olok komentar Anang Hermansyah mantan artis yang sekarang angota DPR dalam komentarnya yang mengatakan pssi-baiknya-dishutdown-saja jelas itu merupakan bentuk pemikiranya sekaligus juga merupakan haknya untuk mengatakan seperti itu. tapi bagi penulisnya justru menilan seakan-akan sipenulislah yang paling hebat dan maha tahu tentang persoalan sepakbola ini sementara orang lain dianggap bodoh….miris euy.
Tapi yah sudahlah, mungkin karena memang dari awal sudah memposisikan diri memihak pada salah satu pihak akhirnya membuat mereka harus ‘konsisten’ terhadap pilihannya, walaupun sesungguhnya pilihanya itu ternyata salah? aneh bukan? tapi faktanya memang demikianlah dan itulah yang terjadi jadi saat ini, bukan lagi bicara salah benar atau solusi yang ditawarkan/dibahas melainkan adalah konsisten akan pilihannya yang membuat semuanya menjadi seperti sekarang ini…………selamat manikmati.
Salam Olah Raga
Borneo 7 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H