Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- MC, TV Host, VO Talent ----- Instagram: @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Serunya Punya Anak Kinestetik

18 September 2020   22:29 Diperbarui: 18 September 2020   22:40 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teruslah bergerak! (sumber gambar: mykiddytracker.com)

Punya anak  yang senang  jumpalitan kesana-kemari? Pernah  merasa capek untuk menemani sang buah hati yang pergerakannya secepat kilat? Apakah mereka hanya bisa diam di tempat dengan waktu tak lebih dari sepuluh hitungan?

Siapa tahu anak Anda termasuk tipikal kinestetik.

Secara sederhana, ada tiga tipe belajar yaitu visual, auditori, dan kinestetik. Nah  tipe yang disebutkan terakhir ini memungkinkan anak  merasa bisa mempelajari sesuatu dengan cara bergerak aktif. Super aktif beda lho dengan hiperaktif.

Saya pribadi sudah mencoba melakukan langkah awal dalam memerhatikan tumbuh kembang anak. Sejak dalam kandungan, saya kok merasa yakin sekali anak ini  akan tumbuh jadi pribadi yang lekat dengan kinestetik.

Indikatornya dari pergerakannya yang sangat masif. Bahkan ketika saya mulas dan mengejan untuk melahirkan  pun, anak saya masih sangat aktif menendang perut. Alhasil saya jadi sesak dibuatnya  dan agak  kewalahan. Padahal menurut tenaga medis, biasanya bayi yang siap dilahirkan akan berkurang pergerakannya. Namun anak saya malah sebaliknya.

Sejak saat itu, saya selalu intens memerhatikan dan mencatat perkembangan apa saja yang  berhasil dilalui dia. Saya sangat yakin bahwa setiap  anak terlahir istimewa  dengan bakat dan potensinya masing-masing. Saya tidak mau ketinggalan sedikitpun momen yang berkaitan dengan hal itu.

Saya perhatikan gerakan motoriknya pesat sekali. Saya stimulasi ia dengan memberikan buku-buku khusus  bayi sejak usia tiga  bulan. Seiring berjalan waktu, perlahan antusiasnya terbangun dengan caranya sendiri: cepat tanggap dengan  respon berupa gerakan-gerakan.

Saking aktifnya, saat usianya belum genap setahun, dia pernah memanjat rak buku dan berlompatan dengan gymball hingga terjatuh. Alhasil gegar otak ringan. Dokter yang memeriksa hanya menganjurkan saya untuk tidak melarangnya. Beliau cuma menganjurkan kami sebagai orang dewasa untuk mengawasinya.

"Jika anak dilarang, itu akan mematikan potensinya.  Lebih baik siapkan tenaga ekstra untuk mengawasi dan menjaga saja supaya tidak jatuh lagi." Begitu bunyi pesan sang dokter yang juga konsultan tumbuh kembang  anak tersebut. Sepertinya dia sudah  meyakini anak saya tipe kinestetik.

Saya niatkan diri  untuk mengikutkan anak dalam tes potensi melalui sidik  jari ketika dirinya berusia 1,5 tahun. Hasilnya memang seperti dugaan saya. Berlembar-lembar kertas yang dijelaskan oleh sang konsultan mendeskripsikan bagaimana kinstetik memengaruhi tindak tanduk anak saya sebanyak 70 persen. Suatu  porsi yang amat besar.

Satu hal  yang saya ingat hingga saat ini, konsultan tes sidik jari tersebut mengatakan begini: 

"Anak kinestetik itu memang nggak bisa diam. Syukuri potensi itu. Namun orang tua harus siap bersabar dan menahan diri ketika anak ini memasuki usia  sekolah. Sistem pendidikan kita masih memandang anak pintar dan baik itu adalah anak  yang diam dan menurut untuk duduk rapi. Anak kinestetik nggak bisa seperti itu. Makanya  dia selalu identik dengan sebutan  'anak nakal' karena biasanya petakilan di dalam kelas."

Wow! Saya amat terkesima. Seketika ingatan kembali ke masa sekolah. Saya pribadi sebagai tipe pembelajar visual kinestetik, bisa  cukup anteng di dalam kelas  namun ada  kalanya juga penat jika harus  selalu duduk.

Di sisi  lain, beberapa teman saya yang nggak betahan di dalam kelas memilih kabur saat pelajaran atau agak 'membuat kegaduhan'  di dalam kelas dengan tingkah polahnya. Alhasil sebagian besar guru mencap mereka sebagai anak nakal.

Padahal mereka sebenarnya sungguh berbakat dan cerdas dalam hal olahraga, ekstrakurikuler,  maupun kegiatan lain yang memerlukan mobilitas. Saat itu, keterbatasan pengetahuan dan pikiran penyamarataan  potensi anak rupanya masih melingkupi para guru kami.

Belajar dari semua itu, saya memilih untuk mengikuti alur yang dibuat oleh Sang Maha  Kuasa. Saya fasilitasi anak untuk belajar dan berkembang dengan caranya sendiri. Saya bebaskan ia mengeksplorasi rasa ingin tahunya, menggerakkan otot tangan dan kaki sesuka hati lewat permainan atau olahraga, hingga berkeliaran bebas di lapangan luas (tentunya dengan tetap didampingi).

Alhasil saya dan suami jadi  semakin sehat karena selalu ikutan bergerak. Tentu saja ini jadi tantangan juga sih pabila virus mager alias males  gerak sedang melanda :D

Di usianya yang hampir menginjak empat tahun  sekarang, saya sudah mantapkan hati untuk tidak memasukkan dirinya ke sekolah biasa. Tampaknya sekolah alam atau sekolah dengan kurikulum holistik menjadi pilihan utama saya. Apakah teman-teman punya rekomendasi sekolah seperti ini khususnya di Bandung dan sekitarnya? Sampaikan dalam kolom komentar ya. ***

Hanifa Paramitha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun