Beberapa tahun lalu, tempat saya bekerja dan berkarya tengah menghadapi badai keuangan yang cukup serius. Jika malam tahun baru adalah momen dimana  orang-orang merayakan dengan gempita dan beragam harapan bertebaran di angkasa, saya justru sebaliknya.
Sebuah kebijakan baru diberlakukan karena kondisi pendanaan kantor sedang morat-marit, sehingga ada pengurangan program kegiatan. Menyadari hal itu akan berpengaruh terhadap pundi yang menyusut, kami selaku para pekerja lepas pilu, termasuk saya yang menatap tahun baru dengan sendu .
Saat itu, saya bekerja lepas di bidang komunikasi dimana imbalan yang masuk tergantung dari jumlah jam kegiatan yang dilakukan. Dari minimal sekitar selusin jadwal selama sebulan, saya hanya mendapatkan setengahnya pada bulan Januari.
Di bulan berikutnya, jadwal saya semakin berkurang dengan hanya mendapatkan tiga jadwal. Ya, tiga.
Bayangkan dalam sebulan saya hanya bekerja selama tiga hari. Apalagi jumlah jam kegiatan juga turut dipangkas menjadi setengahnya sejak kebijakan baru itu berlaku di awal tahun. Sungguh honor yang teramat minim. Saya sangat mengencangkan ikat pinggang karenanya.
Di sisi lain, pada bulan Februari tersebut, adik saya harus diopname selama dua minggu.. Penyakit yang lumayan mengkhawatirkan membuatnya harus berpindah rumah sakit sebanyak dua kali. Lokasi rumah sakit yang terletak di luar kota membuat kedua orang tua saya harus bergantian menunggui adik.
Pada akhir bulan, adik saya dinyatakan boleh pulang. Tampak wajah lega dari orang tua karena anaknya sudah pulih dan tak perlu ada lagi langkah lelah bolak-balik luar kota.
Saat itu, ibu dan adik mengungkapkan ingin sekali makan enak karena makanan rumah sakit hambar rasanya. Apalagi seminggu kemudian adalah hari ulang tahun saya.
"Sekalian makan-makan syukuran ulang tahun dan kesembuhan adik," ujar ibu saat itu.
Saya terdiam. Keluarga saya memang tidak tahu mengenai kondisi keuangan saya yang kocar-kacir. Saya pun enggan menginfokan karena tak mau menambah beban pikiran mereka selama adik sakit.
Saya ingin sekali mengiyakan permintaan sederhana  itu. Saya juga sadar, sakitnya adik tentu membuat keuangan orang tua menjadi agak terkuras. Belum lagi tenaga, pikiran, dan waktu yang dihabiskan.
Dengan apa yang sudah mereka lalui dengan letih, saya tak tega untuk menolak keinginan tersebut. Namun saya waswas, bagaimana ini? Saya kan bokek!
Dua malam saya berpikir. Saya ingin berupaya sendiri. Hingga akhirnya saya membuat keputusan bulat dan menyerahkan segalanya kepada Sang Maha Kuasa.
Bismillah, ucap saya.
Saya ajak ibu, ayah, dan adik ke sebuah restoran steak yang cukup terkenal di kota ini. Saya bebaskan mereka memesan apa yang disuka. Kami makan malam dengan gembira, melepaskan beban dengan bahagia, bercerita seperti sedia kala. Penuh dengan derai tawa, semuanya tampak sempurna.
"Alhamdulillah nikmat banget. Semoga kakak ditambahkan rezeki yang berlimpah oleh Allah ya," ucap ibu saya begitu selesai makan.
Saya tersenyum mengamini dan lekas menuju  kasir di sebelah utara. Bersiap dengan kejutan yang ada. Subhanallah! Benar dugaan saya, tagihannya luar biasa.
Saya mengatur napas sejenak  dan serahkan sekian lembaran uang merah yang bercampur dengan uang biru, hijau, dan ungu. Selain seluruh honor pada bulan itu, makan malam selama dua jam  tersebut juga telah merenggut sekian lembar dari dana darurat saya.
Apakah saya menyesal? Tidak.
Lalu bagaimana nasib keuangan saya bulan depan? I'm nothing to lose.
Saya hanya niatkan ini sebagai sedekah.
Bukankah sedekah terbaik adalah ketika kita tidak punya apa-apa?
Bukankah sedekah utama adalah kepada keluarga?
Tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat mereka kembali sumringah.
Dua hari berselang, seorang klien yang sudah lama tak pernah kontak tetiba memberi tawaran mengisi acara di luar kota dengan bayaran yang amat mencengangkan. Honornya tiga kali lipat dari jumlah tagihan yang saya bayar di restoran steak!
Masya Allah.. saya terpaku.
Inikah balasan-Nya atas apa yang telah saya pasrahkan sebelumnya?
Begitu kilat Dia membalikkan keadaan.
Begitu hebat Dia menggerakkan hati dan pikiran sang klien untuk kembali mengingat nama saya.
Begitu cepat Dia menjawab doa ibu saya yang disematkan dalam keadaan syukur dan bahagia.
Terima kasih Ya Allah Ya Ghani. Alhamdulillahi robbil alamin..
***
Tulisan pengalaman pribadi ini pernah dilombakan dalam kompetisi Menulis Keajaiban Sedekah yang diadakan oleh suatu lembaga amal di Indonesia pada awal tahun 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H