Hatiku bergetar setiap kali melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah. Aneka tanaman tropis berjejer tertata rapi dalam pot.
Teras dan halaman selalu resik dan tersisa debu sedikitpun. Rasanya damai dan tentram sekali batin ini.
Masuk ke ruang tamu  pun begitu. Tatanan meja dan kursi ditata apik dengan  mengedepankan estetika. Meskipun  ruangan ini mungil sekitar 2x2 meter saja, semuanya tampak sedap dipandang mata.
Tiga sisi dinding dipasangkan pigura beraneka bentukdan gambar. Di atas kursi kayu jati panjang, terpampang ukiran kaligrafi bertuliskan lafadz Allah berwarna hitam dan berukir tembaga.
Aku tersenyum. Itu oleh-oleh pemberianku saat pulang ibadah umrah sepuluh tahun lalu.
Di dinding seberangnya giliran lukisan kanvas bernuansa biru bergambar Masjidil Haram dengan aktivitas ritual tawaf mengelilingi Kakbah di tengahnya. Di dinding satunya lagi, giliran Masjid Nabtawi yang disajikan dalam bentuk gambar tiga dimensi.
Pigura ini paling besar dan berat, sehingga hampir menutupi setengah  dinding. Ibu memang selalu terkesan dengan pesona dua  kota suci agama  Islam tersebut.
"Senyum-senyum terus sampai lupa duduk. Jangan berdiri terus. Ayo bersantai dulu. Kamu mau dibikinkan minum apa? " tanya ibu menyadarkanku.
Aku tertawa geli. Betul juga. Sudah 15 menit sejak kedatanganku, namun aku masih berdiri di pintu. Memandangi segala yang terlihat di hadapanku yang telah kulewati selama sewindu.
"Teh melati aja, Bu. Sekar rindu rasa dan wanginya. Di luar negeri nggak ada," jawabku setelah mendaratkan diri di kursi jati peninggalan kakek dan nenek ini.
"Yowes. Tak tinggal yo," pamit Ibu yang bergerak ke arah dapur.