Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Tips Cerdas Keuangan untuk Lindungi Anak dari Jebakan Sandwich Generation

30 Juni 2020   11:14 Diperbarui: 30 Juni 2020   11:33 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sandwich (sumber gambar: www.vaya.in)

"Menikah itu banyak tanggung jawabnya. Rencanakan. Rencanakan untuk kalian. Rencanakan untuk anak-anak kalian."

"Waktu dulu kita jadi anak, kita nggak nyusahin orang tua. Nanti kita sudah tua, kita nggak nyusahin anak."

Begitu dua  kutipan favorit dari buku "Sabtu Bersama Bapak" karya penulis Adhitya Mulya. Menurut saya, kalimat dari buku yang juga diangkat ke layar lebar itu sangat membuka perspektif untuk melek keuangan.  Bagaimana tidak?

Fenomena sandwich generation saat ini memperlihatkan ada yang tidak beres dalam pengaturan keuangan keluarga. Akhirnya ini menjadi rantai yang terus memanjang.  Semestinya rantai ini bisa diputus melalui kecerdasan finansial yang mumpuni dan pengelolaan keuangan yang  bijak.

Tidak pernah ada yang mau menjalani kondisi terhimpit, bagaimanapun keadaannya. Tulisan ini lebih mengedepankan posisi orang tua baru supaya  anak kita di masa depan terhindar sebagai generasi sandwich. 

Meskipun mengandung kata dari suatu jenis  makanan yang memiliki tampilan menarik, rasa enak, dan mengenyangkan,  sayangnya sandwich generation tak punya sensasi yang sama. Sandwich di sini lebih menggambarkan kondisi terjepit.

Sama persis terjepitnya orang-orang yang harus menangung kebutuhan hidup orang tua dan anggota keluarga lain. Tentu dapat dibayangkan betapa beratnya kewajiban seseorang  tersebut.

Kondisi ini akan semakin pelik jika yang bersangkutan sudah menikah karena beban finansialnya semakin meningkat dengan adanya tambahan tanggungan pasangan, anak, bahkan bisa jadi juga orang tua pasangan.   

Barisan orang yang tergolong sandwich generation tak muncul tanpa sebab. Mereka adalah produk dari ketidaksiapan generasi di atasnya dalam membuat perencanaan masa depan, termasuk keuangan.

Tahukah Anda bahwa menurut hasil penelitian sebuah perusahaan asuransi di Indonesia, masyarakat yang memiliki program persiapan pensiun saat ini jumlahnya hanya kurang dari enam persen!  Waduh sedikit sekali ya. Ini merupakan gambaran betapa besarnya peluang untuk memunculkan generasi sandwich berikutnya di masa depan.

Selain itu pula, dalam budaya kita ada semacam aturan tak tertulis bahwa seorang anak seakan wajib "membayar utang budi" kepada orang tua dengan cara membiayai masa tuanya. Padahal anak adalah subyek dan individu bebas yang seyogyanya tidak kita bebani dengan suatu hal yang sebenarnya bisa kita persiapkan sejak masih produktif.

Anak tidak diwajibkan untuk itu. Biarkan ia mengembangkan diri, memperluas wawasan dan pengalaman, meraih kesuksesan, serta memaksimalkan potensinya. Tidak sepatutnya kita sebagai orang tua malah menjadikan anak sebagai tumpuan utama yang menopang sisa hidup kita.

Bukankah segala upaya dan biaya yang kita keluarkan untuk anak adalah wujud syukur dan tanggung jawab kepada Sang Maha Kuasa? Lantas mengapa harus merasa ada timbal balik?

Cerdas Berperilaku

Kita bisa pakai analogi Bank Indonesia yang  menggunakan makroprudensial aman terjaga sebagai senjata untuk membidik target yang ingin digapai, yaitu menjaga stabilitas sistem keuangan. Bank Indonesia tentu memiliki kebijakan agar tujuan tersebut bisa tercapai, bukan?

Nah, hal ini dapat kita terapkan juga dalam kehidupan sehari-hari dengan berperilaku cerdas sebagai senjata utamanya. Selaku orang tua milenial, kebijakan untuk cerdas berperilaku dapat dilaksanakan sebagai dasar untuk menjaga stabilitas keuangan keluarga sebagai target utama. Baik kondisi keuangan kita maupun kondisi keuangan anak kelak supaya terhindar dari jebakan sandwich generation.

Berikut ini beberapa langkah perilaku cerdas keuangan yang dapat kita lakukan:

  1. Tingkatkan kemampuan literasi keuangan. Caranya adalah dengan belajar dulu, belajar lagi, dan belajar terus! Tak ada alasan untuk berhenti menggali  ilmu pengelolaan keuangan. Apalagi saat ini segala informasi bisa dengan mudah didapatkan dari semua platform. Manfaatkan smartphone untuk menjadikan Anda smart people. 
  2. Perbesar pemasukan aktif (active income) selama usia  masih produktif. Selain dari promosi yang berujung kenaikan gaji, Anda juga bisa melakukan kerjaan sampingan atau meningkatkan keterampilan yang bisa menunjang nilai dalam diri.
  3. Investasi. Tahukah Anda jika mendapatkan capital gain itu rasanya luar biasa? Anda bisa melakukannya dalam bentuk reksadana dan saham yang mengedepankan value investing atau growth investing.
  4. Membangun aset produktif. Tak mesti selalu berupa sewa properti, di era digital seperti sekarang Anda juga bisa membangun aset produktif melalui jasa pembuatan coding untuk game, konten Youtube, atau konten lain yang bisa dimonetisasi.
  5. Dana darurat adalah kunci! Ibarat ibadah maka hukum dana darurat adalah fardhu 'ain. Sebagai dana yang dicadangkan untuk kebutuhan mendadak, dana ini harus dipersiapkan secepatnya. Sebagai orang tua yang memiliki anak, besarannya minimal 12 kali pengeluaran bulanan. Tempatkan dana ini di dalam produk keuangan yang aman, likuid, dan mudah dijangkau. Apa yang akan terjadi jika tidak punya dana darurat? Siap-siap saja Anda kena darurat dana.
  6. Miliki konsep perencanaan pensiun dan hari tua, alokasikan dananya dari sekarang. Di dunia maya bertebaran kalkulator pensiun lho. Anda bisa ketahui total dana pensiun yang diperlukan di masa depan berdasarkan kebutuhan saat ini serta inflasi yang akan terjadi. Anda jangan kaget jika nanti hasil hitungannya ternyata berjumlah besar. Makanya persiapkan saat ini juga.
  7. Kurangi pengeluaran konsumtif. Apalagi kalau tipe pengeluaran Anda termasuk sesuatu yang punya liabilitas tinggi. Wah pikir-pikir lagi deh. Jangan mau dikalahkan ego dan gengsi.
  8. Lunasi utang konsumtif. Masih berkaitan dengan poin 7,  jenis utang ini harus menjadi fokus Anda untuk segera diselesaikan karena sifatnya yang merusak cashflow dalam hidup. Masa iya mewariskan utang kepada keturunan? Utang konsumtif pula. Wah jangan sampai ya!
  9. Perbaiki gaya hidup boros selama ini. Anda merasa impulsif dan konsumtif? Sadari sesegera mungkin! Ingatlah bahwa kita dianugerahi nafas dan nyawa untuk bertahan hidup, bukan bertahan  gaya.
  10. Miliki asuransi. Baik  kesehatan atau jiwa, proteksi ini dapat menjadi  opsi bagi Anda yang mencari keamanan keuangan. Pelajari dulu polisnya dengan cermat dan seksama ya.
  11. Berikan edukasi keuangan terhadap anak sedini mungkin. Ajak mereka memahami pengelolaan keuangan dari yang paling sederhana seperti menabung atau investasi. Implementasikan  juga pembelajaran tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal  ini sekaligus pula memberikan anak kesempatan belajar bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang dijalankannya.
  12. Jika perlu, Anda juga bisa menghubungi konsultan keuangan atau perencana keuangan bersertifikasi untuk berkonsultasi dalam mengambil keputusan finansial.

Ada hadis yang mengungkapkan tidak ada manusia yang miskin karena membelanjakan harta untuk orang tua. Namun jika kita  menjadi orang tua mandiri yang tidak membebani anak tentu tidak ada salahnya juga, bukan? Kalau kelak anak dengan sukarela memberikan bantuan finansial, anggap saja itu sebagai hadiah. Bukan keharusan.

Tentukan prioritas

Perencanaan keuangan untuk masa pensiun dan hari tua sepertinya belum jadi perhatian khusus masyarakat di Indonesia. Tak heran  generasi sandwich bisa muncul karena mereka memiliki orang tua yang sejak awal memang tidak menyiapkan dana pensiun.

Tentu saja ini menjadi pembelajaran bagi kita para orang tua milenial untuk menjadikan jaminan keuangan di masa tua sebagai prioritas utama. Selain menghilangkan ketergantungan dan tidak menurunkan gen kemiskinan, langkah ini juga bisa saling menyokong stabilitas keuangan masing-masing, baik keuangan kita maupun anak nantinya.

Kalau kemudian ada pertanyaan, jika sibuk mempersiapkan hari tua terus, lalu kapan dong bisa menikmati  hidupnya?

Tak  usah bingung. Ini semua kembali lagi kepada kelihaian kita dalam manajemen diri sendiri, dari manajamen waktu, tenaga, pikiran, sampai uang. Jalani saja hidup dengan sederhana dan bersahaja demi masa depan sejahtera.

Toh pada akhirnya memang bakal balik lagi ke pribadi masing-masing. Sejatinya tak ada lho orang yang  benar-benar sibuk, tetapi yang ada hanyalah mereka yang tidak sanggup menentukan skala prioritas.

Jadi.. sudah tahu dong apa prioritas hidup Anda?

***

Hanifa Paramitha 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Hantu Pocong Lembang, Hiburan Siang di Jalan Macet!

5 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun