Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- MC, TV Host, VO Talent ----- Instagram: @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pulang Bersama Hujan

16 Juni 2020   18:34 Diperbarui: 5 Juli 2020   17:47 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awan hitam masih menggumpal hitam dan setia menggantung di langit. Serbuan air yang sangat deras membuat lelaki berumur hampir setengah abad itu pun terlihat semakin gundah.

"Ugh! Kenapa belum berhenti sih?" rutuk hatinya.

Berkali-kali dilihatnya jam tangan lusuh yang selama puluhan tahun ini melingkar di tangan tuanya. Waktu menujukkan pukul 15.00. Sudah hampir sejam ia berdiam diri di pelataran ruko. Ikut menumpang berteduh bersama tujuh orang lainnya.

"Kalau begini terus, aku bisa terlambat," batin lelaki bernama Haidar tersebut.

Sekotak kardus bertali  rapia teronggok di samping kaki. Isinya seperangkat rangkaian mainan lego yang dipinta sang putra bungsu sebagai hadiah dirinya yang tengah berulang tahun kelima hari ini. Mainan yang amat ditunggu sejak berbulan-bulan lalu.

Haidar menghela nafasnya gusar. Jam 16.00 adalah waktu sang anak pulang sekolah. Haidar ingin sampai ke rumah terlebih dahulu sebelum anaknya datang. Ia mau membuat kejutan istimewa. Perjalanan ke rumah dari tempatnhya kini berdiri hanya terpaut jarak 1 kilometer. Tak jauh, tak juga dekat.

Namun kehadiran hujan yang tak terprediksi ini akan membuat jaraknya semakin jauh karena ia harus memutar jalan. Menghindari genangan di pasar yang kerap muncul setiap hujan deras.

Sepuluh menit kembali berlalu. Hujan semakin deras dengan petir menggelegar. Haidar semakin tak tenang hati. Dibuatnya sebuah keputusan nekat.

"Akan kuterjang saja hujan besar ini. Lebih baik basah kuyup daripada tak jelas menunggu kapan hujan berhenti," pikirnya.

Haidar membungkus kardus mainan dengan plastik besar lantas mengenakan jas hujan plastik untuk dirinya. Ia kemudian bergegas menuju sepeda ontel tua yang diparkir. Mengikatkan kardus  dengan erat di bagian belakang sepeda.

"Pak.. hujan masih deras. Tunggu dulu, Pak!" sayup terdengar teriakan suara juru parkir yang tengah berteduh. Suaranya bercampur dengan kilat yang menderu. "Di depan ada genangan, Pak. Arusnya lumayan kencang!" teriaknya kembali.

Haidar memandang juru  parkir dan hanya mengacungkan jempol. Ia menaiki sepeda dan melesat dengann cepat. Ternyata betul kata juru parkir. Ada genangan setinggi sekitar mata kaki dengan arus yang cepat.  Sempat terpikir oleh Haidar untuk kembali  ke pelataran ruko.

"Sepertinya ini air limpahan dari kali kecil di depan. Nggak apa-apa deh kuterjang  saja. Toh nggak tinggi  banget. Lagipula aku hapal jalurnya" gumam Haidar.

Namun  perkiraannya meleset. Semakin mendekati arah kali, air semakin melimpah dengan cepat. Tingginya kini setengah betis orang dewasa.

Haidar mengacuhkan fakta. Ia terus menggenjot sepeda dengan kecepatan tinggi. Bayangan tawa bahagia putranya terus bermunculan di benaknya.

Bulir air semakin berjatuhan di wajah Haidar. Jarak pandangnya mulai terbatas. Beberapa kali sepedanya oleng karena melawan arus.

Namun Haidar tak gentar. Semakin oleng, semakin cepat ia kembali  mengalihkannya lagi. Terus begitu hingga  Haidar tak menyadari sudah berada di pinggir kali.

Derasnya arus membuat permukaan kali menjadi naik dan naik ke jalan. Tak terlihat mana jalan, mana kali. Semua tampak sama dengan gulungan air kecoklatan yang bergerak cepat.

Haidar salah perhitungan. Ia mengambil jalur yang justru membawanya ke kali. Terbawa arus  kencang dengan tak sempat menyelamatkan diri. Haidar dan sepedanya timbul tenggelam di dalam air. Lantas hilang tak muncul lagi.

***
"Pemirsa, saat ini di sebelah saya sudah ada Pak Tarno selaku juru parkir dan saksi dari kejadian tenggelamnya seorang lelaki pesepeda di Kali Citepus pada sore hari tadi. Pak Tarno, bisa diceritakan bagaimana kronologis kejadian sebelum tragedi ini terjadi?" seorang reporter melakukan wawancara dengan latar Kali Citepus yang sudah surut beberapa waktu lalu.
***
Hanifa Paramitha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun