Haidar memandang juru  parkir dan hanya mengacungkan jempol. Ia menaiki sepeda dan melesat dengann cepat. Ternyata betul kata juru parkir. Ada genangan setinggi sekitar mata kaki dengan arus yang cepat.  Sempat terpikir oleh Haidar untuk kembali  ke pelataran ruko.
"Sepertinya ini air limpahan dari kali kecil di depan. Nggak apa-apa deh kuterjang  saja. Toh nggak tinggi  banget. Lagipula aku hapal jalurnya" gumam Haidar.
Namun  perkiraannya meleset. Semakin mendekati arah kali, air semakin melimpah dengan cepat. Tingginya kini setengah betis orang dewasa.
Haidar mengacuhkan fakta. Ia terus menggenjot sepeda dengan kecepatan tinggi. Bayangan tawa bahagia putranya terus bermunculan di benaknya.
Bulir air semakin berjatuhan di wajah Haidar. Jarak pandangnya mulai terbatas. Beberapa kali sepedanya oleng karena melawan arus.
Namun Haidar tak gentar. Semakin oleng, semakin cepat ia kembali  mengalihkannya lagi. Terus begitu hingga  Haidar tak menyadari sudah berada di pinggir kali.
Derasnya arus membuat permukaan kali menjadi naik dan naik ke jalan. Tak terlihat mana jalan, mana kali. Semua tampak sama dengan gulungan air kecoklatan yang bergerak cepat.
Haidar salah perhitungan. Ia mengambil jalur yang justru membawanya ke kali. Terbawa arus  kencang dengan tak sempat menyelamatkan diri. Haidar dan sepedanya timbul tenggelam di dalam air. Lantas hilang tak muncul lagi.
***
"Pemirsa, saat ini di sebelah saya sudah ada Pak Tarno selaku juru parkir dan saksi dari kejadian tenggelamnya seorang lelaki pesepeda di Kali Citepus pada sore hari tadi. Pak Tarno, bisa diceritakan bagaimana kronologis kejadian sebelum tragedi ini terjadi?" seorang reporter melakukan wawancara dengan latar Kali Citepus yang sudah surut beberapa waktu lalu.
***
Hanifa Paramitha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H