Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- MC, TV Host, VO Talent ----- Instagram: @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Calon Buronan

10 Juni 2020   21:37 Diperbarui: 11 Juni 2020   16:30 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: kompas.com

TOK! TOK! TOKKK!

Ketukan keras dan cepat di pintu itu seperti petir yang menggelegar. Balon mimpi yang sedari tadi menghias tidur Burhan mendadak meletus begitu saja. 

Belum sempat nyawanya terkumpul penuh, Burhan sudah melangkahkan kaki dengan gusar. Ia menggerutu sendiri dan siap menghardik siapapun pemilik tangan di balik pintu kamarnya.

"Ada apa?? Ganggu tidurku saja! Ini belum pagi!" hardik Burhan

"Ma..ma..maaf, Han. Itu di depan ada Pak RT bersama polisi. Mereka bilang mencari kamu," jawab Paul, teman kost Burhan di lantai bawah.

"Polisi??? Kenapa mereka bisa tahu aku ada di sini??" Burhan menahan suaranya sambil memegang rahang Paul.

"A...aku ter..terpaksa mengiyakan, Han. Aku nggak mau terlibat, Han. Ma..maaf," ucap Paul terbata.

"Halah! Dasar manusia tak berguna! Kupikir kau ada di pihakku! Makanya aku ikut bersembunyi disini. Sudah sana, keluar kamu! Bilang aku akan turun sebentar lagi!" bentak Burhan sembari mendorong Paul.

Setengah berlari Paul menuruni anak tangga dan kembali ke ruang tamu. Sementara Burhan masih di kamarnya dan berusaha berpikir cepat.

"Ah mengapa bisa ketahuan sih? Padahal aku baru membegal tiga hari lalu. Topi kupluk, jaket, dan parang sudah kubuang ke sungai. Di lokasi pun nggak ada CCTV. Kenapa mereka bisa menemukan persembunyianku? Dasar Paul sialan! Pakai mengakui kalau aku ada di kostan sini pula. Huh!" Burhan berbicara dengan dirinya sendiri sambil mondar mandir.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Ia pun langsung melihat ke arah jendela kamar yang menghadap ke rawa. Dihampirinya jendela itu. Menimbang jarak antara daun jendela dengan rawa.

"Kurang lebih tiga meter. Bisa lah aku meloncat ke situ," gumam Burhan.

Dengan sigap, ia memakai celana jins yang tergantung di balik pintu. Bekas percikan darah korban yang sudah mengering masih menempel dan menimbulkan bau amis. Burhan memang tak segan melukai sang korban jika berani melawan. Tak lupa ia mengenakan tas pinggangnya. Semua hasil rampasan saat itu masih utuh di dalamnya. Ponsel, dompet, gelang emas, dan uang tunai senilai 2 juta rupiah.

"Ini semua cukup untuk bekal pelarianku," ucap Burhan.

Tak perlu waktu lama, Burhan sudah berdiri di pinggir jendela dan mengambil ancang-ancang. Dalam hitungan ketiga, ia melompat tepat di atas rawa. Merayap sebentar, mengambil napas, dan mengamati sekitar. 

Setelah dirasakan aman, Burhan mengendap-endap memutari tembok bangunan kostan, dan berlari secepat kilat melewati jalan berkelok di gang sempit ini. Sesampainya di jalan besar, lelaki bertubuh pendek itu naik angkot yang sedang mengetem. Ia menghardik sang sopir untuk langsung tancap gas menuju terminal bus antar kota.

Di saat yang sama, Pak RT, polisi, dan Paul baru tiba di kamar Burhan. Mereka hanya mendapati ruangan kosong dengan tiupan angin dari jendela yang terbuka.

***

Hanifa Paramitha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun