"Kurang lebih tiga meter. Bisa lah aku meloncat ke situ," gumam Burhan.
Dengan sigap, ia memakai celana jins yang tergantung di balik pintu. Bekas percikan darah korban yang sudah mengering masih menempel dan menimbulkan bau amis. Burhan memang tak segan melukai sang korban jika berani melawan. Tak lupa ia mengenakan tas pinggangnya. Semua hasil rampasan saat itu masih utuh di dalamnya. Ponsel, dompet, gelang emas, dan uang tunai senilai 2 juta rupiah.
"Ini semua cukup untuk bekal pelarianku," ucap Burhan.
Tak perlu waktu lama, Burhan sudah berdiri di pinggir jendela dan mengambil ancang-ancang. Dalam hitungan ketiga, ia melompat tepat di atas rawa. Merayap sebentar, mengambil napas, dan mengamati sekitar.Â
Setelah dirasakan aman, Burhan mengendap-endap memutari tembok bangunan kostan, dan berlari secepat kilat melewati jalan berkelok di gang sempit ini. Sesampainya di jalan besar, lelaki bertubuh pendek itu naik angkot yang sedang mengetem. Ia menghardik sang sopir untuk langsung tancap gas menuju terminal bus antar kota.
Di saat yang sama, Pak RT, polisi, dan Paul baru tiba di kamar Burhan. Mereka hanya mendapati ruangan kosong dengan tiupan angin dari jendela yang terbuka.
***
Hanifa Paramitha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H