pecandu narkotika di Indonesia
Tingginya prevalensiPrevalensi pengguna narkoba di Indonesia pada 2021 lalu mengalami peningkatan. Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose, jumlah pecandu narkoba yang tercatat di Indonesia sebanyak 0,15% menjadi 1,95% atau 3,66 juta jiwa. Hal tersebut sejalan dengan laporan BNN pada tahun 2018 di mana adanya peningkatan kasus pada penyalahgunaan narkoba pada kalangan remaja yang awalnya 20% menjadi 24%---28% dari keseluruhan jumlah pecandu narkoba.Â
Tindak pidana narkotika adalah salah satu kejahatan luar biasa sehingga diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Namun, terdapat penggunaan istilah yang tidak konsisten sehingga pengaturan masih condong ke arah pemidanaan penjara khususnya terhadap pengguna narkotika yang tidak termasuk sebagai pengedar ketimbang memberikan fasilitas rehabilitasi.
Ketidakjelasan batasan definisi pecandu narkoba
Pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat 4 istilah berbeda pun dengan definisi yang berbeda pula.
Pasal 4 menyatakan "jaminan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkoba", dimaksudkan penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Sedangkan pecandu narkoba adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Sedangkan Pasal 54 menyatakan "pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial", dimaksudkan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.
Kemudian Pasal 103 menyatakan "pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi bagi pecandu narkoba yang bersalah atau tidak bersalah melakukan tindak pidana".
Dan istilah pada Pasal 127 (3) menyatakan "penyalahguna terbukti sebagai korban wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial".
Bila kita telaah keempat pasal tersebut, maka muncul pertanyaan:
Apakah pecandu narkoba dan penyalahguna narkoba berbeda? Jika menilik penjelasan dari UU Narkotika, definisinya memang berbeda.
Bila dilihat dari konteksnya, di sini pecandu melakukan tindakan pidana dan penyalahguna merupakan korban,Â
dengan pertimbangan apa pecandu narkoba bukan merupakan korban penyalahgunaan narkoba?
Adanya perbedaan istilah yang merupakan poin mendasar dalam UU Narkotika menyebabkan adanya perbedaan persepsi antar penegak hukum dalam pengaplikasian pasal-pasal dalam UU Narkotika.
Seringnya penggunaan pasal pidana penjara bagi pecandu narkoba
Selain dari adanya perbedaan persepsi karena inkonsistensi pada istilah yang digunakan, putusan hakim terhadap pecandu narkoba lebih sering mencantumkan pasal pidana penjara seperti Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 114 dengan dalih "memiliki", "menyimpan", dan "menguasai" narkoba seakan-akan di mata hukum pecandu sama dengan pengedar narkoba daripada menggunakan pasal kewajiban rehabilitasi.Â
Menanggapi hal ini, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2010 sebagai bentuk standardisasi pidana rehabilitasi kepada pecandu narkoba. Selain itu dalam pasal 127, dalam menjatuhkan putusan hakim wajib memperhatikan ketentuan Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 UU Narkotika.Â
Namun, tetap saja pada praktiknya sebagian besar putusan hakim menjerat pecandu narkoba untuk menjalani hukuman penjara. Hal ini ditandai dengan 28.483 (18,8%) narapidana di lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia yang divonis sebagai pecandu narkoba.
Problematika penjara dan pemulihan pecandu narkoba
Padahal, faktanya jumlah narapidana telah jauh melebihi kapasitas lapas yang menyebabkan overcrowding pada lapas. Berdasarkan data situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), jumlah narapidana telah jauh melebihi kapasitas hunian sebanyak 169,5%, dengan 33,97% dari total adalah pecandu Narkoba. Selain itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Mabes Polri mendapati bahwa peredaran narkoba kelas kakap justru dikontrol para napi dari berbagai Rutan dan Lapas. Pada tahun 2017, BNN menemukan sebanyak 72 jaringan narkotika internasional memanfaatkan narapidana dari 22 lembaga pemasyarakatan.Â
Hal ini menandakan bahwa upaya menjatuhkan hukuman pidana pada penyalahguna narkotika hanya akan menghentikan aktivitas mereka sementara. Akar permasalahannya justru pada adanya permintaan narkoba yang cukup besar dan adanya penawaran untuk itu sehingga terjadi transaksi. Menurut kesaksian salah satu mantan pecandu, lapas yang penuh terisi pecandu maupun pengedar tidak menciptakan lingkungan yang ideal bagi pemulihan seorang pecandu narkoba, bahkan banyak yang ketika telah bebas kembali mengonsumsi narkoba.
Dari penelitian yang dilakukan dari sebuah konsorsium fasilitas kesehatan di AS pada 2019 lalu mengungkap bahwa 18% pecandu kembali menggunakan narkoba setelah masa tahanannya berakhir. Menurut dr. Ratna Mardiati, Sp.KJ(K), kemungkinan seorang pecandu narkoba mengalami relapse 80% bila tidak didampingi. Sementara itu, saat ini penjara belum memberikan level dukungan kepada narapidana narkotika seperti yang tersedia di pusat rehabilitasi sehingga hal ini juga berdampak pada keberhasilan pengobatan dan juga mengingkari adanya pemenuhan hak narapidana untuk mendapatkan akses rehabilitasi yang memadai.
Rehabilitasi sebagai kebutuhan, bukan kewajiban
Demi mencapai target, yaitu kesembuhan total dari seorang pecandu narkoba dan mampu untuk kembali berfungsi dalam aspek sosial, rehabilitasi menjadi menjadi suatu kebutuhan bagi seluruh pecandu narkoba. Bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kesehatan RI menyusun panduan tata laksana terapi rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Ada beberapa aspek terapi yang diberikan selama proses rehabilitasi, mulai dari tahap rehabilitasi medis/detoksifikasi, tahap rehabilitasi nonmedis, dan tahap bina lanjut/after care.
Pada tahap rehabilitasi medis, pemberian Metadona dilakukan setiap hari hingga mencapai dosis stabil. Sesuai dengan Permenkes RI Nomor 57 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona, terapi PTRM meliputi asesmen, pemberian Metadona, pemeriksaan penunjang, konseling, dan intervensi psikososial lainnya. Metadona ini merupakan pengganti opioid bagi orang yang memiliki ketergantungan kronis terhadap opioid. Jika digunakan secara benar dan dengan pengawasan dokter, terapi ini dapat membantu menghilangkan kebiasaan memakai opioida, mengurangi tingkat kriminalitas, dan membantu memperbaiki hubungan pasien di lingkungan sosialnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Devi, et. al kepada 117 pasien terapi Metadona di Kelantan, Malaysia pada tahun 2005---2008, terdapat penurunan secara signifikan pada penggunaan heroin, opioid, serta kebiasaan berisiko terinfeksi HIV setelah menjalani terapi Metadona selama 12 bulan. Penelitian serupa dilakukan oleh HM Sun, et. al melalui metode systematic review pada laporan penelitian di tahun 2004---2014, terdapat penurunan kasus kriminalitas dari 13,1% ke 3,4% setelah menjalani terapi Metadona selama 12 bulan. Hal ini membuktikan bahwa pemberian rehabilitasi secara menyeluruh selama 12 bulan kepada pecandu narkoba berdampak pada peningkatan kualitas hidup mereka.
Kesimpulan
Permasalahan narkotika tidak hanya sebatas pemberantasan pecandu dan pengedar narkoba. Memberikan layanan rehabilitasi juga memiliki peranan penting dalam mengatasi tingginya angka penyalahgunaan narkotika. Namun, UU Narkotika yang saat ini menjadi landasan hukum dinilai belum merepresentasikan kebutuhan pecandu untuk direhabilitasi sesuai Pasal 54, Pasal 103, dan Pasal 127 akibat mayoritas putusan hakim memvonis pecandu untuk mendekam di penjara.Â
Menempatkan seorang pecandu di balik jeruji besi tidak menghalangi hasrat mereka untuk menyalahgunakan narkotika kembali. Sebaliknya, rehabilitasi akan menjadi jembatan bagi pecandu dalam menghadapi lingkungan masyarakat yang normal dengan bekal dan dukungan sosial yang telah diberikan.Â
Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan sinkronisasi istilah dan terminologi dalam UU Narkotika agar tidak menimbulkan adanya multitafsir sehingga hak pecandu narkoba tetap dapat diberikan secara adil. Selain itu, hakim juga seharusnya hanya mencantumkan putusan dengan pasal rehabilitasi kepada setiap terdakwa yang terbukti sebagai pecandu narkoba sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010. Dan yang terakhir, pengobatan rehabilitasi harus dijadikan mudah diakses dengan cara memasang tarif standar yang berlaku pada pusat rehabilitasi negara dan swasta. Hal-hal tersebut diharapkan dapat memberikan dampak yang baik dalam bentuk rehabilitasi bagi para pecandu narkoba di masa yang akan datang.
Mahasiswa harus tahu, mahasiswa bergerak
Jadikan hukum Indonesia adil, demi Indonesia yang berhasil
Health Policy Studies
ISMKI Harmoni
www.ismki.or.id | @ismki_indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H