Taratara merupakan desa atau kampung, dalam bahasa Tombulu disebut wanua yang terletak di antara Gunung Lokon dan Bukit Rawingkolo (Wawona), dan juga diapit oleh Sungai Makalesung dan Sungai Meras di bagian Utara dan Sungai Ranowangko di bagian Timur dan Selatan. Letak ini membuat Desa Taratara berada pada posisi strategis dan aman dari bahaya atau bencana alam, seperti material vulkanik akibat letusan Gunung Lokon dan banjir dari Gunung Lokon dan dari Tomohon.
Nama Taratara berawal dari kata "taz-taz", yaitu bunyi tumbuhan air, yang banyak tumbuh di rawa-rawa dan kolam-kolam di bagian Utara wilayah Taratara, sekitar Amian, Meras dan Paku, ketika ditarik atau diinjak. Karena mengalami banyak perubahan dialek oleh orang-orang dahulu, maka penyebutan taz-taz berubah menjadi "Tazataza". Kemudian pada tahun 1800-an, ketika Belanda masuk di Taratara, maka penyebutan Tazataza berubah menjadi "Taratara" yang kita kenal sekarang. Namun demikian, penggunaan nama Tazataza masih berlaku di kalangan orang-orang tua di Taratara, bahkan oleh masyarakat kampung tetangga seperti Woloan dan Kayawu.
Taratara didirikan sekitar tahun 1400-an atau abad ke-13 oleh orang-orang yang berasal dari "Walak Sarongsong" yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani pembuat garam dan penangkap ikan di pantai atau laut Tanahwangko. Penyebaran orang Sarongsong meluas sampai di Taratara karena wilayah Taratara sering dilalui mereka ketika menuju dan kembali dari Tanahwangko setelah selesai membuat garam dan menangkap ikan.
Jarak Sarongsong-Tanahwangko yang jauh sekitar 30 ditempuh dengan berjalan kaki, membutuhkan waktu yang berjam-jam dengan menyusuri bantaran sungai Ranowangko, sehingga mereka sering kelelahan bahkan ketika pulang waktunya sudah gelap dan malam ketika melewati Taratara. Saat malam tiba, mereka beristirahat dan tidur sampai keesokan harinya dengan berteduh di bawah pohon-pohon besar, atau di dalam gua-gua yang berada disekitar pinggiran sungai Ranowangko. Karena sering mengalami hal demikian, maka mereka mulai mendirikan rumah-rumah kecil dan darurat atau untuk sementara dapat ditempati.
Seiring dengan perjalanan waktu, mereka mulai tertarik dengan Taratara, karena tanahnya yang subur dan kaya akan hasil hutan. Bahkan dengan pertimbangan bahwa.jarak ke Tanahwangko lebih dekat, maka mereka mulai menetap di Taratara dan tidak lagi pulang ke Sarongsong. Hal ini menjadi daya tarik mereka sehingga semakin banyak orang yang membuat rumah atau gonggulang dan menetap di Taratara, sehingga lama-kelamaan terbentuklah satu kampung atau desa.Â
Karena semua kebutuhan, baik makanan berupa ikan air tawar, hewan dan ternak, sayur-sayuran dan buah, pakaian, peralatan bahkan bahan untuk membangun rumah cukup dan tersedia di Taratara, maka mereka sepakat untuk tidak lagi bertani garam di pantai Tanahwangko, melainkan menetap di Taratara dengan bertani dan berburu hewan.
Dari waktu ke waktu, Taratara mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik jumlah penduduk maupun luas perkampungan dan lahan pertaniannya. Begitu pula dengan kehidupan masyarakat, khususnya budaya dan tradisi. Sehingga masyarakat mulai berpikir bahwa mereka membutuhkan pemimpin untuk mengatur dan memerintah mereka dalam menjalankan kehidupan sebagai satu komunitas. Oleh tua-tua kampung, melalui suatu musyawarah ditunjuklah orang yang dianggap mampu, biasanya yang berperawakan tinggi dan besar serta berani, yang disebut dengan "Tona'as".Â
Biasanya Tona'as selain memerintah, juga memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa, menjadi panglima perang atau walian, memimpin ritual agama atau wailan atau rumarages, dan mengobati orang sakit. Keputusan orang dari Walak Sarongsong untuk menetap dan bertani di Taratara melalui proses ritual keagamaan terjadi di masa Tona'as Sumarandak Lelepouan.
Masyarakat yang belum mengenal Tuhan atau masih alifuru, dipimpin oleh Tona'as Sumarandak Lelepouan melakukan ritual sembayang dan pemujaan atau rumaghes untuk meminta tanda atau wenang kepada roh-roh leluhur mereka yang mereka anggap mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka (animisme). Ritual rumaghes dipimpin oleh orang-orang tua yang disebut Rumaraghes. Para Rumaraghes memilih tempat yang baik yaitu dataran dan dekat mata air. Dalam pelaksanaan ritual rumaghes datang seekor burung Manguni, terbang mengitari atau rimuang tempat tersebut sambil memberikan bunyi atau kicau sebagai tanda atau wenang sebanyak 9 (sembilan) kali atau manguni makasiouw.Â
Setelah mendapatkan tanda dan menganggap doa mereka dikabulkan, maka mereka mendirikan monumen dari batu sebagai peringatan akan pendirian Kampung Taratara. Monumen tersebut dinamakan "Watu Tumani". Sedangkan tempat mereka melakukan ritual rumaghes dan mendapat tanda, mereka namakan Tinalinga'an. Tempat Tinalinga'an dimana Watu Tumani ini didirikan, sebagai perkampungan atau wanua pertama sekarang ini disekitar gereja GMIM Imanuel sekarang. Adanya perkampungan ini dibuktikan dengan menumpuknya kuburan kuno atau waruga, disekitar gereja GMIM Imanuel Taratara kesemua arah sampai radius 200 meter. Biasanya orang yang meninggal dikuburkan oleh keluarga di dekat rumah dan dibangun tanda dari batu yang berbentuk rumah kecil yang disebut "Waruga".