Dari asal bunyi rumput di rawa rawa itu, kemudian ditambahkan huruf a dibagian akhir menjadi Taza-Taza dan akhirnya oleh Hukum Tua (Kepala Desa) yang bernama Wilar menyebut nama Desa Tara-Tara.
Riwayat Desa Tara-Tara pada masa Hukum Tua Wellem M. Pongoh (1916-1933), statusnya adalah Onder District Tombariri, dengan kantor Hukum Kedua berada di Tara-Tara.
Pada masa Hukum Tua Alphius Wenas Pongoh (1933-1946), sejak tahun 1946 Tara-Tara masuk di wilayah District Tomohon yang kemudian hari berkembang menjadi Kecamatan Tomohon di wilayah Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.
Anak laki-laki dari Hukum Tua A.W. Pongoh yang bernama Jan Herman Marinoya Pongoh sejak tahun 1971 sudah mulai mengundang para wisatawan asing untuk berkunjung ke Desa Tara-Tara. Saat itu J.H.M.
Pongoh mengajak warga negara asing yang menjadi Students Missionary di Sekolah Tinggi Klabat (kini bernama Universitas Klabat) untuk datang ke Tara-Tara dan menyaksikan tarian Katrili dan Lansei.
Mr. & Mrs. Lundstrum, warga negara Swedia pada sekitar tahun 1972 dengan didampingi oleh J.H.M. Pongoh berkunjung ke Tara-Tara untuk melihat keindahan pemandangan alam.
Selain itu juga untuk menyaksikan penampilan tarian Katrili, Maengket dan Kawasaran. Mereka juga mengunjungi jurang Tamu'pu yang ada di perbatasan Desa Tara-Tara dengan hutan Tincep.
Alo Runtuwene dan J.H.M. Pongoh mulai tahun 1973 bersama-sama berkolaborasi untuk menjadikan Tara-Tara sebagai Desa Pariwisata dan didukung oleh Hukum Tua serta warga desa Tara-Tara. Usaha dari kedua anak Desa Tara-Tara itu pun didukung oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Gubernur Sulawesi Utara.
Akhirnya pada tahun 1974 Direktur Jenderal Pariwisata dari Jakarta datang berkunjung ke Tara-Tara dan menetapkan Tara-Tara sebagai Desa Pariwisata.
Jadilah sejak tahun 1974 hingga tahun 1995an Desa Tara-Tara termasuk sebagai Destinasi Wisata Unggulan dari Kabupaten Minahasa dan Provinsi Sulawesi Utara.