Di dunia ini banyak kita jumpai manusia dengan beragam sifat. Tetapi apa karakter dari sifat dasar manusia? Baik, jahat, atau bahkan keduanya? Saya percaya dengan yang kedua. Ya, manusia itu pada dasarnya bersifat jahat.
Dalam pemahaman mengenai orientasi manusia jahat oleh Kluckhohn dan Strodtbeck, beberapa budaya percaya bahwa sifat dasar manusia pada dasarnya adalah jahat. Gagasan ini berangkat dari masa permulaan kehidupan orang fanatik agama di Eropa (Samovar, 2017).
Manusia selalu termotivasi untuk selalu memenuhi keinginan dengan cara apapun. Mencuri, menipu, merusak, bahkan membunuh. Ada begitu banyak keinginan, namun sedikit modal untuk memuaskannya.Â
Salah satu kejahatan manusia adalah memanfaatkan alam dengan merusak dan berpaling dari tanggung jawab. Cukup ironis namun begitu sering terjadi seolah mendapat 'ijin memiliki alam' oleh Sang Pencipta.
Banyak perusahaan atau perseorangan yang merusak wilayah, contohnya seperti perusahaan sawit yang sering membakar hutan untuk kebun sawit, bekas galian tambang yang dibiarkan tak jarang menenggelamkan warga sekitar, membuang limbah pabrik ke sungai, dan pengabaian amdal dalam suatu pembangunan.
Kluckhohn dan Strodtbeck juga menjelaskan bahwa salah satu hakikat hubungan manusia dengan alam adalah manusia menguasai alam. Secara historis, masyarakat Amerika percaya bahwa alam adalah sesuatu yang bisa dan harus dikuasai. Manusia hanya memikirkan keutungannya sendiri.
Representasi akan manusia yang menguasai alam sebab memiliki sifat dasar jahat, bisa kita lihat pada pemerintah Indonesia khusunya DPR RI. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Indonesia saat ini tidak lepas dari tanggung DPR sebagai lembaga pemerintahan yang baru saja mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Banyak kontroversi yang ditimbulkan dari eksistensi undang-undang ini terhadap lingkungan hidup di Indonesia.
Dilansir dari asumsi.co, Koordinator Kampanye WALHI, Edo Rahman meminta DPR untuk meninjau kembali penghapusan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan).Â
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengatakan, penghapusan AMDAL dilakukan karena dalam operasionalnya AMDAL merepotkan para pelaku usaha dan menghambat investasi sehingga diganti dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).Â
Padahal menurut penuturan Edo Rahman, RDTR hanya mengatur mengenai detail-detail pemanfaatan ruang yang ddilakukan oleh pemerintah sedangkan AMDAL adalah tanggung jawab pemrakasa pembangunan. Seharusnya antara RDTR dan AMDAL harus saling melengkapi.
AMDAL merupakan analisis dan informasi tentang dampak penting, meliputi alamiah, kimia, fisik, biologi, sosial-ekonomi-budaya, hingga kesehatan masyarakat sekitar akibat dari pendirian dan operasional kegiatan atau usaha di daerah setempat (Sembiring, 2020).
Itulah mengapa AMDAL menjadi penting dalam sebuah operasional industri. Ada begitu banyak yang harus dipertimbangkan mengenai dampak-dampak buruk dari berdirinya suatu industri terhadap lingkungan.Â
Tetapi DPR malah menghilangkan pasal yang mengatur tentang AMDAL dan hanya menggantinya dengan RDTR yang hanya memuat rencana rinci atas tata ruang sebuah wilayah.Â
Mengapa DPR seakan tidak peduli terhadap lingkungan hanya demi mempermulus jalan masuk para investor yang nantinya akan membantu menciptakan lapangan pekerjaan.