Filsafat dan Teologia Batak
Oleh: Hojot Marluga
Menilik filsafat paling tidak membantu penalaran kita berpikir dengan lebih rasional. Memahami alas yang darinya terbangun ruang berpikir baru. Cakrawala baru. Atau, cara berpikir yang lebih luas dan mendalam dengan integral dan koheren, juga lebih analitis, dan logis. Demikian juga kiranya membicarakan Filsafat dan Teologia Batak, ini. Paling tidak ada alas dasar yang menjadi pedoman dan pegangan hidup orang Batak, khususnya etnis Toba. Batak memiliki filosofi agama, mardebata, percaya pada Ompu Mulajadi Nabolon.
Lalu, dasar membentuk keluarga, ada adicita untuk marpinompar. Memiliki keturunan, sebagai filosofi hagabeon. Di dalamnya juga ada etika sebagai bagian patitur etika, disebut martutur. Lalu, Batak juga memiliki filosofi kekerabatan yang kuat. Hal itu bisa terlihat dari Dalihan na Natolu, garis merahnya terlihat di tarombo. Dan yang tak kalah penting memiliki "patik" yang ditegakkan oleh raja bius (sekarang antara ada dan tiada). Maka ada kata, marpatik bisa juga diartikan memiliki aturan yang mengikat semua masyarakat.
Umumnya alas dasar itu terungkap di umpasa dan umpama. Misalnya, dalam membangun komunikasi mengajarkan sungkun mulani hata sisi mulani uhum, yang berarti bertanya akan membuka dialog. Sementara yang tak mau bertanya memutus ruang komunikasi. Alas pemikiran inilah membuat saya menulis buku Mereaktualisasi Ungkapan Filosofis Batak Jilid I, dan buku ini akan ada jilid selanjutnya. Buku ini didasarkan dari pemahaman ungkapan budaya Batak yang dihubungkan dengan teologia yang berbunyi semisal: pantun hagoluan teus hamatean, bukan “tois” yang diartikan kesombongan membawa kematian, sopan-santun sumber kehidupan.
Teologia Batak
Lalu, bagaimana persinggungan teologi Batak? Dalam budaya Batak disebut mangasetaon sebagai puncak segala perayaan Batak, yang sekarang lebih dikenal Bona Taon. Perayaan Tahun Baru Batak, mangase taon mengandung beberapa tujuan yang dianggap bisa memulihkan keselarasan dalam alam semesta.
Pelaksanaan mangase taon mengandung makna melaksanakan ritus agama, sebagai pohon kehidupan yang berkaitan dalam hidup. Kemudian menjadi ruang merenung, mengaca diri, merenungi nasib sebagai ciptaan di depan Sang Pencipta. Mangasetaon adalah ritual agama Batak yang mempersembahkan horbo bius kerbau kurban, sebagai bakti terhadap Ompu Mula Jadi Nabolon, Tuhan.
Makna dari horbo bius adalah sebagai kurban dari sipir ni tondi untuk menguatkan roh, lebih tepatnya penebusan. Pemahaman yang menggerakkan iman untuk melaksanakan kurban penebusan. Konon, dalam mangase taon kehadiran iman mulia terpancar dalam diri Si Raja Inda-inda. Sebelum horbo bius dikorbankan, hewan itu terlebih dahulu diikat di pohon, borotan. Pohon manjadi medium sebelum dijadikan borotan terlebih dahulu, harus diberi ritual penyembahan. Memohon agar pohon yang sudah dilengkapi bersedia dijadikan borotan. Ritual ini menyiratkan bahwa pohon adalah medium untuk menyembah Ompu Mula Jadi Nabolon.
Jika dipersinggungkan dengan budaya Yahudi, dalam budaya Yahudi misalnya, setiap acara ritual harus ada domba yang dikorbankan. Persembahan korban dilakukan saat seseorang berbuat dosa. Domba yang sehat dipersembahkan sebagai penebusan dosa-dosa. Pemahaman itulah diadopsi dalam teologia Kristen bahwa korban penebusan adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri, yang disalibkan untuk menebus manusia dari dosa.
Kembali ke teologia Batak. Ada konsep yang disebut Debata Sitolu Sada yang mirip tritunggal dalam agama Kristen. Ada Debata Banua Toru, Debata Banua Ginjang, Debata Banua Tongga. Dulu, tradisi Batak meyakini misteri bahwa untuk menciptakan alam semesta, Ompu Mulajadi Nabolon, lebih dahulu menciptakan burung mistis, Manukmanuk Hulambujati. Burung ajaib inilah yang dipercaya bertelur tiga butir, menetas menjadi Debata Tolu, yaitu Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan.
Ketiganya berkuasa atas tiga benua: banua toru (benua bawah), banua tonga (benua tengah), banua ginjang (benua atas). Dan, ketiganya mempunyai permaisuri, masing-masing Si Boru Pareme, Si Boru Panuturi, dan Siboru Sunde. Maka, disinilah pentingnya memahami budaya untuk selalu dinamis, menjadi dasar beranjak berpikir. Sebagaimana budaya Yahudi alas teologia Kristen, pesan moralnya diadopsi Kristen.
Akhirnya, disinilah jugalah pentingnya berfilsafat sebagai cara bernalar. Sebagai pembebas dan mendobrak pola pikir yang membelenggu karena pemahaman tradisi yang stagnan, dan dogma yang menjadi penjara bagi pikiran kita. Tak menghina budaya, mempersalahkan cara berpikir nenek-moyang, dan juga tak mengagung-agungkannya sebagai satu tata yang tak bisa dirubah, diperbaiki, tetapi hendak terus direaktualisasikan untuk menjadi lebih baik lagi.
Hojot Marluga adalah penulis buku Mereaktualisasi Ungkapan Filosofis Batak Jilid I
Ket: diterbitkan tabloid Media Nasional (Minggu, 17/1/2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H