Mohon tunggu...
Hotman J Lumban Gaol (Hojot Marluga)
Hotman J Lumban Gaol (Hojot Marluga) Mohon Tunggu... Pengiat Buku, Penulis, Motivator -

Hotman J. Lumban Gaol (Hojot Marluga) adalah seorang jurnalis, redaktur pelaksana Reformata. Saat ini menggeluti dunia penulisan\r\nbuku-buku memoar; otobiografi dan biografi. Anak Desa\r\nMatiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang-Hasundutan, Sumatera Utara, lahir 1 Juli 1978. Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga\r\nSekolah Teknologi Menegah (STM) semua dilaluinya di\r\nkampungnya Dolok Sanggul, dari tahun 1984 hingga tahun 1996. Tahun 1996, merantau ke Bekasi. Lalu bekerja di pabrik PT PYN Manufacturing, Bantar Gebang, Bekasi. Krisis tahun 1998 membuatnya ikut di-PHK. Mensiasati hidup dia bergelantungan di bus-bus kota menjual Koran. Sejak tahun 1999, memulai debutnya di media sebagai “sirkulasi” di tabloid Jemaat Indonesia. Sambil\r\nmendistribusikan tabloid di sela-sela waktu luang dia sembari belajar menulis. Sambil menyelam minum air itulah motto hidupnya. Bekerja sambil belajar itu juga dilakoninya, siang hari berkerja, sore hari kuliah. Tahun 1999 kuliah\r\ndi Sekolah Tinggi Teologia Doulos Jakarta, hingga lulus tahun 2003. Saat ini, sedang menyelesaikan pascasarjana [S2] di Sekolah Tinggi Teologia Jaffray, Jakarta, konsentrasi Kepemimpinan Kristen.\r\nPendiri dan pengelola weblog Ensiklopedia Tokoh Batak di www.tokohbatak.wordpress.com. Begitu lulus dari STT Doulos dia diterima di Penerbit Erlangga\r\nsebagai koordinator agen, asisten manager pada devisi Erlangga Deret Selling\r\n(EDS). Tahun 2004, dia mulai memberanikan diri menjadi wartawan di majalah Industri&Bisnis. Kemudian tahun 2005, bergabung di majalah Devotion dan wartawan di majalah Berita Indonesia, tahun 2006. Tahun 2007, menjadi manager\r\nsirkulasi di majalah Bona Ni Pinasa. Lalu, pada Mei 2007-Juli 2010, wartawan majalah Tapian sekaligus menjadi manager marketing di majalah tersebut. Kemudian, pada Agustus 2010 hingga Agustus 2011 wartawan di harian umum\r\nBatakpos. Sejak Agustus 2011 hingga sekarang bergelut di tabloid Reformata. Beberapa cerpennya pernah diterbitkan Suara Pembaruan dengan nama pena\r\nHojot Marluga. “Tidak ada orang yang purna dalam menulis” menulis baginya adalah proses belajar. Sebagai orang muda yang masih “harus” terus-menerus belajar menulis. Mengasah diri, mempertajam daya kreasinya menulis dengan\r\nmengikuti berbagai pelatihan untuk mengembangkan diri dalam menulis\r\ndiantaranya: (1) Seminar Creative Writing, penyelenggara Penerbit Andi, di Ruang Anggrek, Istora Senayan Jakarta, pada Juli 2010. (2) Successful Completion of Public\r\nRelations Workshop, Antara School of Journalism (LPJA), di Gedung Antara,\r\nJakarta, Juni 2009. (3) Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Radio,\r\ndi Gedung Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta, September, tahun 2009. (4) Workshop Penulisan Kreatif Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO), Cabang Bekasi, di Islamic Center Bekasi, tahun 2005. Kecintaannya menulis membawanya mendirikan penerbit CV Halibutongan\r\nPublishing. Menerbitkan bukunya sendiri (publishing self) dan juga buku-buku yang lain di bidang biografi dan budaya. Kini, dia telah terlibat melahirkan sepuluh (10) buku. Selain merintis penerbitan, kini dia juga mulai terjun memberikan\r\npelatihan-pelatihan motivasi, kepemimpinan dan penulisan. Terakhir, menjadi narasumber di Seminar Kepemimpinan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia\r\nCabang Semarang. Bertempat di Aula STT Abdiel, Ungaran, Kabupaten\r\nSemarang, Jumat (23/5/2014). Sebelumnya, menjadi narasumber dalam pelatihan jurnalistik, motivasi menulis yang diselenggarakan Universitas Ukrida,\r\ndi Gedung Ukrida, Grogol, Jakarta Barat, Jumat (24/1/2014). Dia bisa dihubungi HP: 081316518619. Facebook: Hojot Marluga. Twitter: @HojotMarluga2. \r\nE_mail:astephen.hojotmarluga@gmail.com. & hojotmarluga78@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filsafat dan Teologia Batak

15 Januari 2016   17:03 Diperbarui: 15 Januari 2016   17:03 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsafat dan Teologia Batak

Oleh: Hojot Marluga

Menilik filsafat paling tidak membantu penalaran kita berpikir dengan lebih rasional. Memahami alas yang darinya terbangun ruang berpikir baru. Cakrawala baru. Atau, cara berpikir yang lebih luas dan mendalam dengan integral dan koheren, juga lebih analitis, dan logis. Demikian juga kiranya membicarakan Filsafat dan Teologia Batak, ini. Paling tidak ada alas dasar yang menjadi pedoman dan pegangan hidup orang Batak, khususnya etnis Toba. Batak memiliki filosofi agama, mardebata, percaya pada Ompu Mulajadi Nabolon.

Lalu, dasar membentuk keluarga, ada adicita untuk marpinompar. Memiliki keturunan, sebagai filosofi hagabeon. Di dalamnya juga ada etika sebagai bagian patitur etika, disebut martutur. Lalu, Batak juga memiliki filosofi kekerabatan yang kuat. Hal itu bisa terlihat dari Dalihan na Natolu, garis merahnya terlihat di tarombo. Dan yang tak kalah penting memiliki "patik" yang ditegakkan oleh raja bius (sekarang antara ada dan tiada). Maka ada kata, marpatik bisa juga diartikan memiliki aturan yang mengikat semua masyarakat.

Umumnya alas dasar itu terungkap di umpasa dan umpama. Misalnya, dalam membangun komunikasi mengajarkan sungkun mulani hata sisi mulani uhum, yang berarti bertanya akan membuka dialog. Sementara yang tak mau bertanya memutus ruang komunikasi. Alas pemikiran inilah membuat saya menulis buku Mereaktualisasi Ungkapan Filosofis Batak Jilid I, dan buku ini akan ada jilid selanjutnya. Buku ini didasarkan dari pemahaman  ungkapan budaya Batak yang dihubungkan dengan teologia yang berbunyi semisal: pantun hagoluan teus hamatean, bukan “tois” yang diartikan kesombongan membawa kematian, sopan-santun sumber kehidupan.

Teologia Batak

Lalu, bagaimana persinggungan teologi Batak? Dalam budaya Batak disebut mangasetaon sebagai puncak segala perayaan Batak, yang sekarang lebih dikenal Bona Taon. Perayaan Tahun Baru Batak, mangase taon mengandung beberapa tujuan yang dianggap bisa memulihkan keselarasan dalam alam semesta.

Pelaksanaan mangase taon mengandung makna melaksanakan ritus agama, sebagai pohon kehidupan yang berkaitan dalam hidup. Kemudian menjadi ruang merenung, mengaca diri, merenungi nasib sebagai ciptaan di depan Sang Pencipta. Mangasetaon adalah ritual agama Batak yang mempersembahkan horbo bius kerbau kurban, sebagai bakti terhadap Ompu Mula Jadi Nabolon, Tuhan.

Makna dari horbo bius adalah sebagai kurban dari sipir ni tondi untuk menguatkan roh, lebih tepatnya penebusan. Pemahaman yang menggerakkan iman untuk melaksanakan kurban penebusan. Konon, dalam mangase taon kehadiran iman mulia terpancar dalam diri Si Raja Inda-inda. Sebelum horbo bius dikorbankan, hewan itu terlebih dahulu diikat di pohon, borotan. Pohon manjadi medium sebelum dijadikan borotan terlebih dahulu, harus diberi ritual penyembahan. Memohon agar pohon yang sudah dilengkapi bersedia dijadikan borotan. Ritual ini menyiratkan bahwa pohon adalah medium  untuk menyembah Ompu Mula Jadi Nabolon.

Jika dipersinggungkan dengan budaya Yahudi, dalam budaya Yahudi misalnya, setiap acara ritual harus ada domba yang dikorbankan. Persembahan korban dilakukan saat seseorang berbuat dosa. Domba yang sehat dipersembahkan sebagai penebusan dosa-dosa. Pemahaman itulah diadopsi dalam teologia Kristen bahwa korban penebusan adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri, yang disalibkan untuk menebus manusia dari dosa.

Kembali ke teologia Batak. Ada konsep yang disebut Debata Sitolu Sada yang mirip tritunggal dalam agama Kristen. Ada Debata Banua Toru, Debata Banua Ginjang, Debata Banua Tongga. Dulu, tradisi Batak meyakini misteri bahwa untuk menciptakan alam semesta, Ompu Mulajadi Nabolon, lebih dahulu menciptakan burung mistis, Manukmanuk Hulambujati. Burung ajaib inilah yang dipercaya bertelur tiga butir, menetas menjadi Debata Tolu, yaitu Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan.

Ketiganya berkuasa atas tiga benua: banua toru (benua bawah), banua tonga (benua tengah), banua ginjang (benua atas). Dan, ketiganya mempunyai permaisuri, masing-masing Si Boru Pareme, Si Boru Panuturi, dan Siboru Sunde. Maka, disinilah pentingnya memahami budaya untuk selalu dinamis, menjadi dasar beranjak berpikir. Sebagaimana budaya Yahudi alas teologia Kristen, pesan moralnya diadopsi Kristen.

Akhirnya, disinilah jugalah pentingnya berfilsafat sebagai cara bernalar. Sebagai pembebas dan mendobrak pola pikir yang membelenggu karena pemahaman tradisi yang stagnan, dan dogma yang menjadi penjara bagi pikiran kita. Tak menghina budaya, mempersalahkan cara berpikir nenek-moyang, dan juga tak mengagung-agungkannya sebagai satu tata yang tak bisa dirubah, diperbaiki, tetapi hendak terus direaktualisasikan untuk menjadi lebih baik lagi.

Hojot Marluga adalah penulis buku Mereaktualisasi Ungkapan Filosofis Batak Jilid I

Ket: diterbitkan tabloid Media Nasional (Minggu, 17/1/2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun