Alexander Lay ST, SH, LL.M
Gerak Jalan Revolusi Mental Bersama Joko Widodo
Oleh: Hotman J. Lumban Gaol
Tentu kita masih ingat kata-kata cicak melawan buaya. Iya, kata-kata spontan lahir dari Komjen Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri beberapa tahun lalu, ketika memberikan keterangan pers soal dugaan penyadapan terhadap dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Spontan publik membela KPK, Pimpinan KPK, waktu itu Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang yang dituduhkan. Pembelaan publik dan para pegiat hukum negeri makin menguat membela KPK. Salah satunya yang kokoh mendukung adalah seorang pengacara, Alexander Lay atau Alex.
Siapakah Alexander Lay? Alumnus SMPK Ndao Ende (Angkatan 1986) dan SMAK Syuradikara Ende (Angkatan 1989). Tahun 1993 memulai pendidikannya di Jurusan Teknik Perminyakan ITB. Setelah lulus Alex memulai kariernya di Schlumberger Oilfield Services (Anadrill), sebagai (International) Drilling Services Engineer. Setelah 2 tahun bekerja dengan gaji yang tinggi tidak membuatnya terbuai, dan mulai merasa enjoy. Dia memutuskan keluar dari perusahaan tersebut dan mulai memikirkan karier di bidang lain.
Pengalamannya di Pers Mahasiswa BOULEVARD-ITB sebagai Pemimpin Redaksi (1996-1997) mengingatkan Alex kembali akan minatnya di bidang hukum dan kemanusiaan. Lalu melanjutkan kuliah ke Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta, tahun 2003. Tahun 2005 dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di University of Sydney yang diselesaikannya di tahun 2006 dengan gelar Legum Magister (LL.M).
Pria kelahiran Ende-Flores, 21 September 1973, merasa bahagia dengan pekerjaannnya sekarang sebagai advokat di bawah bendera Lasut, Lay & Pane (LLP) di Jakarta. Kini, dia juga didaulat menjadi salah satu anggota Tim hukum dari pasangan Capres nomor urut 2, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bagi Alex bahwa prestasinya yang baik ketika menempuh studi hukum lebih disebabkan karena bidang yang ditekuni adalah kegemarannya. Demikian petikannya:
Bagaimana perkembangan laporan tim setelah melaporakan tabloid Obor Rakyat ke Mabes Polri?
Pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka, Setyardi dan Darmawan. Kami tentu amat menyayangkan pernyataan Setiyardi dalam satu talkshow, menyatakan, Obor Rakyat itu adalah produk jurnalistik. Hal itu, berbeda dengan tafsiran Dewan Pers yang menyatakan bahwa tabloid itu bukanlah termasuk produk jurnalistik. Dewan Pers dengat tegas mengatakan bahwa tabloid Obor Rakyat bukan produk jurnalistik. Karena itu Dewan Pers siap membantu pihak yang dirugikan untuk menyeret oknum yang mengaku pekerja pers yang berkaitan ke ranah hukum.
Obor Rakyat harus dianggap setara dengan selebaran gelap. Isinya jelas-jelas memfitnah Joko Widodo. Apalagi alamat yang dicantumkan dalam tabloid tersebut fiktif. Kami menilai tabloid itu sengaja diterbitkan dan diedarkan menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden demi menjelek-jelekan nama Jokowi.
Polisi memintakan pihaknya belum bisa menemukan pelanggaran pidana atas penerbitan Obor Rakyat, padahal Dewan Pers sudah menyatakan selebaran tersebut bukan produk jurnalistik?
Jelas polisi akan membantah jika dikatakan lembaganya sangat lamban mengusut kasus Obor Rakyat. Pelaku terungkap bukan dari hasil penyelidikan Badan Pengawas Pemilu atau pihak kepolisian, melainkan berdasarkan laporan investigasi sejumlah media. Sejumlah nama disebut di balik tabloid yang tersebar ke sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Jawa Barat itu. Nama wartawan yang tertuding pun akhirnya mengaku membuat tabloid tersebut.
Tim juga melaporkan pihak-pihak yang terkait?
Sebelumnya diberitakan, sebuah tabloid atas nama Obor Rakyat beredar di sejumlah pondok pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Isi tabloid yakni menghujat Jokowi-JK tanpa menyebut narasumber dan penulis berita. Kita lihat saja nanti.
Apakah Anda melihat bahwa polisi lambat menangani kasus Obor Rakyat, terkait laporan tim hukum Joko Widodo-Jusuf Kalla?
Terkesan proses hukum terhadap pembuat dan penerbit selebaran tersebut seperti jalan di tempat.
Lalu, Tim Advokasi Prabowo-Hatta juga melaporkan calon presiden nomor urut dua, Joko Widodo (Jokowi) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena dinilai telah melanggar aturan dengan berkampanye di Monas beberapa hari sebelum kampanye?
Jokowi-JK memanfaatkan momen Car Free Day (CFD) di Monas untuk kampanye massal yang bertuliskan Gerak Jalan Revolusi Mental Bersama Joko Widodo. Hari minggu itu bukan kegiatan kampanye. Itu kegiatan jalan sehat dan pak Jokowi sama sekali tidak memaparkan visi misi Jokowi-JK apalagi mengajak memilih. Menurut kami, kegiatan disebut kampanye kalau calon atau timses pada saat kejadian itu memaparkan visi misi disertai dengan ajakan memilih. Bila unsur tersebut terpenuhi baru disebut kampanye dan jelas salah. Bahwa apa yang dituduhkan kepada Jokowi itu sangat salah besar dan tidak mendasar sama sekali.
Karena itu, bagi kami tidak masalah jika Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu memeriksa bahkan mengecek kebenaran perihal tuduhan itu. Menurut kami tuduhan tersebut tidak berdasar. Dan Bawaslu sudah mengklarifikasi kepada penyelenggara acara jalan pagi tersebut untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Kembali soal Obor Rakyat itu, apa sebenarnya isinya?
Edisi perdana tabloid ini bertanggal 5-11 Mei 2014, terdiri atas 16 halaman dan berisikan beberapa artikel kampanye hitam. Halaman depan menampilkan judul “Capres Boneka” dengan karikatur Jokowi sedang mencium tangan Megawati Soekarnoputri. Judul lain yang ditampilkan di halaman ini adalah “184 Caleg Nonmuslim PDIP untuk Kursi DPR”, “PDI-P Partai Salib” dan “Ibu-ibu, Belum Jadi Presiden Udah Bohongin Rakyat.”
Edisi kedua pun telah beredar awal Juni ini dengan halaman depan memampang judul besar: 1001 Topeng Jokowi. Para pemimpin pondok pesantren dan pengurus masjid yang menerima kiriman ribuan eksemplar tabloid ini serempak menyatakan keheranannya, darimana gerangan sang pengelola tabloid memperoleh alamat mereka. Selain di Jawa Timur, tabloid ini beredar di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.Jelas isinya semua fitnah. Di dalamnya penulis menyangkutpautkan Jokowi dengan kasus bus Transjakarta, kemudian disebut juga bahwa Jokowi pro maksiat dan sejumlah isu SARA.
Soal tuduhan mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono pada Jokowi dalam kasus pengadaan bus TransJakarta?
Sebagaimana kita tahu, Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono sebagai tersangka dalam kasus pengadaan bus TransJakarta. Kami mensinyalir, adanya permintaan pemanggilan Jokowi oleh Kejagung merupakan bagian dari kampanye hitam. Tim hukum mengendus kuat bila kasus bus Transjakarta telah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu untuk memojokkan Jokowi dan mensponsori Udar untuk menyerang Jokowi.
Siapa pihak-pihak tersebut?
Saya pikir kalian sudah tahu. Saya tidak perlu jelaskan secara eksplisit. Jokowi tidak terlibat dalam lelang bus Transjakarta. Tetapi, Jokowi mengetahui soal pengadaan bus TransJakarta. Kami menduga ada sponsor besar di balik Udar Pristono. Sebab, kasus bus Transjakarta selalu dikait-kaitkan dengan Jokowi. Ini terus diembus-embuskan terus menerus yang sengaja dilakukan untuk mempengaruhi masyarakat agar tidak memilih Jokowi.
Terakhir, sebenarnya, apa passion atau hasrat Anda pada bidang hukum?
Saya adalah seorang pelajar yang disiplin dan pekerja keras, namun saya percaya bahwa tanpa passion yang dalam pada bidang hukum tidak mungkin saya dapat mencapai titik sekarang ini. Untuk menjadi bagus Anda perlu disiplin dan kerja keras, namun untuk menjadi cemerlang, disiplin dan kerja keras semata tidaklah cukup. Diperlukan passion atau hasrat yang mendalam pada bidang yang ditekuni. Saya meyakini itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H