Mohon tunggu...
hotdiana nababan
hotdiana nababan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang pendidik yang sedang belajar menulis. hotdiananababan123@blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bila Aku Menag, Sertifikasi Guru Agama dan Tokoh Agama

26 Juli 2018   22:14 Diperbarui: 27 Juli 2018   05:14 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan etimologinya hoax berasal dari hocus yang artinya menipu. Sementara dalam Merriam Webster, kamus asing yang legendaris itu, hoax bermakna membuat sesuatu yang salah atau tidak masuk akal menjadi sesuatu yang dipercaya atau diterima seolah-olah itu memang benar adanya. Maraknya hoax belakangan ini membuat pemerintah mencatatkannya tahun 2017 lalu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V yang juga tersedia secara online dengan bentuk serapan hoaks yang bermakan berita bohong.

Mengapa berita itu harus bohong atau dibuat tidak sebenarnya? Karena ada kepentingan di balik berita bohong. Kepentingan itu bisa karena politik dan kepentingan komersial untuk mendapatkan keuntungan. 

Hoaks diproduksi massal oleh pabrik hoaks. Produknya berupa kebencian pada seorang tokoh/etnis/institusi dll, deligitimasi kebenaran, dan menciptakan kebenaran sesuai kemauannya. 

Si pemilik pabrik menikmati uang dari donatur pemesan hoaks. Selanjutnya adalah tugas makelar hoaks untuk memasarkannya melalui akun buzzer dengan cara memprovokasi, memainkan hastag dan sindikasi akun buzzer. Para marketing ini menikmati uang dari produsen hoaks. Akhirnya sampailah hoaks dikonsumsi para follower untuk me-like dan me-share. Mereka tidak dibayar dan cenderung sukarela karena kepentingan dan kebencian pada seseorang, etnis, atau institusi tertentu.

Lalu, siapakah yang mengonsumsi hoaks media sosial itu? Berdasarkan usia pengguna media sosial, remaja usia 13-18 tahun sebesar 75%, kemudian usia 19-34 tahun sebesar 74% dan usia 35-55 tahun sekitar 44 %. 

Bisa dibayangkan bila remaja membaca hoaks mereka akan langsung menelannya tanpa mengkritisinya. Lalu bagaimana pula yang berusia 19-34 tahun? Mungkin bila kita awam terhadap kesehatan atau bukan orang medis maka maklum saja kita percaya bahwa dengan mencucukkan jarum ke tangan penderita kolesterol akan menyelamatkan nyawanya bahkan akan dengan segera men-share sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiannya. 

Lalu bila ada seorang sarjana ekonomi yang meremehkan manfaat infrastruktur bukankah ijazah sarjananya patut dipertanyakan.

Jenis hoaks yang paling banyak diproduksi berdasarkan #KompasDataadalah politik sebesar 91,80 % dan SARA sebesar 88,60 %. Ini bahaya. Bayangkan ada sekitar delapan ratus ribu situs hoaks dan bila sudah menyinggung SARA terlebih menyangkut ujaran kebencian terhadap suatu golongan atau agama tertentu. Maklumlah, masyarakat kita sangat agamis, sangat percaya pada kebenaran agama adalah kebenaran sejati, kebenaran hakiki, kebenaran di atas kebenaran ilmiah. 

Jangankan yang sarjana, yang masterpun sekalipun akan termakan hoaks. Jangankan pemerintah, orang tua sendiri pun akan ditentang habis bila menyangkut kepercayaan. Meskipun ada berita tandingan, dia akan tetap menganggap itu hoaks. 

Hoaks agama dirasa lebih nyaman sehingga muncullah definisi hoaks yang baru itu yaitu, mana berita yang membuat dia nyaman akan dianggap benar dan mana berita yang membuat dia terganggu akan dianggap hoaks.

Itulah sebabnya saya sangat setuju terhadap lomba blog Jika Aku MenAg yang digagas oleh Kemenag. Selamat kepada Kemenag yang tanggap akan bahaya hoaks terhadap masyarakat yang majemuk dan multiagama ini. Hoaks dapat memecahbelah persatuan bangsa. Hoaks seperti bom waktu yang meluluhlantahkan bangsa ini.

Maka, seandainya saya jadi MenAg, yang akan saya lakukan adalah

Sertifikasi Ulang Guru Agama

Meski guru agama di bawah Kemenag sudah memperoleh sertifikat pendidik perlu menyertifikasi ulang guru agamanya. Terlebih terhadap ajaran-ajaran radikal. Sebab dua jam pelajarana gama di sekolah tiap minggunya sangat menentukan perilaku siswa. Terlebih dalam pelajaran Kurikulum 2013 yang memuat empat kompetensi, yaitu kompetensi spritual, kompetensi sosial, kompetensi kognitif dan kompetensi psikomotorik. 

Yang menarik adalah kompetensi spritual dan kompetensi sosial wajib hadir di semua mapel. 'Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya' demikian kompetensi spritual yang wajib hadir di semua mata pelajaran. Bagaimana bila doktrin yang diajarkan guru agamanya salah maka salahlah penerapannya ke semua mata pelajaran. 

Selanjutnya Kemenag bekerjasama dengan kementerian yang terkait seperti Kominfo untuk lebih mempertajam kurikulum literasi yang sudah ada saat ini seperti mengedukasi guru agama mengenali hoaks agama, mencegah hoaks agama dan akhirnya belajar menciptakan berbagai media pembelajaran sebagai kontens positif untuk menyeimbangkan delapan ratus ribu situs hoaks negatif tadi.

Sertifikasi Tokoh Agama

Meski isu ini sempat menjadi perdebatan, tetapi hal ini sangat penting mengingat hoaks bukan lagi hanya lewat media sosial tetapi juga sudah lewat rumah-rumah ibadah. Mengapa akhirnya metode ceramah ini dianggap efisisen? Budaya lisan masih sangat kental dibandingkan budaya tulisan. Lebih percaya kepada lisan daripada tulisan, misalnya sudah ada pun tulisan HABIS, masih saja tetap bertanya kepada petugas pom bensin, "Habis ya, Bang ?". 

Hal ini dapat dimaklumi karena terbatasnya pengetahuan sebagai akibat rendahnya literasi masyarakat kita. Bahkan untuk mau men-crossceck ke sumber lain pun sangat enggan sebagai akibat rendahnya literasi masyarakat kita. Terlebih lagi bila sudah terlanjur percaya dan nyaman pada seorang tokoh, argumen apa pun yang diajukan tidak akan diterima lagi. Ia akan menutup telinganya dan nyaman pada kebenciannya yang fanatik itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun