Mohon tunggu...
hotdiana nababan
hotdiana nababan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang pendidik yang sedang belajar menulis. hotdiananababan123@blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menapaki Jejak-jejak Kartini

19 April 2016   13:22 Diperbarui: 19 April 2016   13:43 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berkembang, menjadi dinamis bukan stagnan. Mengikuti tantangan perubahan. Mampu keluar dari zona nyaman demi pengembangan diri. Memperkaya diri dengan berbagai ilmu, membaca, berdiskusi dan mempraktekkannya.
Berkarakter, mempunyai nilai dan prinsip. Bukan saat dilihat orang tetapi saat tersembunyi pun tetap berintegritas. Nilai hidup mewarnai setiap tingkah lakunya. Mengasihi diri sendiri dan sesama.

Lelaki Bukan Segalanya


"Maunya laki-lakilah adik si Gifty nanti", ujar seorang keluarga padaku.
"Tambahlah satu lagi, siapa tahu laki-laki", ucap salah seorang kerabat.
Tak dapat dipungkiri kalimat itu sering saya dengar karena sebagai mahluk sosial yang berbudaya Batak yang masih mewariskan paham bahwa lelakilah penerus marga, maka tak sempurnalah sebuah keluarga bila tidak mempunyai anak laki-laki.

Masih beruntung 'kepercayaan' itu tidak seekstrim di zaman mertua dulu, wanita yang tidak melahirkan laki-laki akan diceraikan. Masa kini, tekanan sosial itu masih ada dalam bentuk doa-doa gender seperti itu. Bila tidak punya prinsip, khususnya komitmen bersama suami maka, si istri biasanya akan disisihkan dalam keluarga besar, menjadi tidak percaya diri bahkan diam-diam akan pergi ke dokter kandungan mengikuti program kehamilan khusus laki-laki.

Keinginan mempunyai anak laki-laki tentu ada, tetapi bukan karena risi terhadap cibiran atau pun doa kerabat yang memang tulus. Suami-istri harus berkomitmen bahwa kebahagiaan keluarga bukan bergantung pada anak atau khususnya pada anak laki-laki. Anak bukanlah tujuan pernikahan. Bagaimana suami istri bisa sepikiran dalam hal ini merupakan salah satu usaha untuk mencegah masalah kesetaraan gender.

Usaha berikutnya adalah bagaimana ibu mendidik anak perempuan untuk bisa melindungi diri. Jangan telanjang (walaupun masih anak-anak) di rumah meski dengan keluarga sendiri. Bila ada keluarga yang mencoba meraba dada atau bokong harus segera lapor kepada ibu. Usaha-usaha kecil seperti ini dapat membekali anak untuk tidak menjadi korban pelecehan seksual yang menjadi isu terbesar dalam kasus keseteraan gender.

I’m Still Here To Be Me
1. To be wife
Menjadi istri yang belajar mengomunikasikan apa pun dengannya. Membagikan mimpi dan harapan akan menjadi seperti apa keluarga kami kelak. Menghadirkan ‘syalom’ di rumah sendiri. Menjadi saluran berkat bagi keluarga besar kedua belah pihak. Menjadi teman berbagi bagi keluarga-keluarga muda di komunitas pelayanan. Belajar menyatakan apa yang saya suka dan tidak suka dalam hal-hal rahasia sekali pun misalnya, bagaimana saya ingn ‘diperlakukan’ di tempat tidur. Hal itu bukan hanya sekedar bentuk kesetaraan gender tetapi lebih kepada usaha mencapai kepuasan kebahagiaan berdua.
2. To be mommy
Bersyukur masa-masa sulit untuk mendapatkan anak telah berlalu. Saatnya fokus memperhatikan kesehatan dan pertumbuhan anak-anak. Terlebih saat ini, membagi tiga hari di Medan untuk studi dan empat hari bersama mereka di rumah sangat melelahkan. Tetapi demi menyeimbangkan karir dan keluarga semua harus dinikmati.
3. To be teacher
Sungguh luar biasa kesempatan menjadi guru. Setiap tahun siswa baru silih berganti datang ke sekolah. Bagaimana saya menyelipkan ‘hai engkau gadis, engkau berharga, hargai dirimu’ di tengah pengajaran bahaha Indonesia. Bagaimana saya menjadi guru dan motivator bagi mereka.
4. To be writer
Terima kasih Sinergia yang telah memaksa saya menulis melalui SWC-nya. Hadir memberi topik berbeda setiap hari selama seminggu mengharuskan saya memaksa otak untuk berpikir yang tadinya lebih sering menunggu ide datang. Latihan-latihan sederhana, walau seperti sekedar hanya menulis status di FB, apabila rajin diasah akan semakin menajamkan kemampuan saya menuangkan ide ke dalam beberapa kalimat. Untaian kalimat menuju paragaraf-paragraf koherensif. Yang tadinya hanya 100 kata, belajar menambahkan ke 200 kata dan begitu seterusnya. Dengan menulis saya bisa mendidik, membagi pengetahuan, membangkitkan semangat perempuan muda untuk terus berkarya. Sharing motivasi kepada setiap pembaca yang tidak dibatasi oleh usia, tempat dan waktu. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun