Kenangan. Terkadang ingatan-ingatan itu muncul perlahan. Serupa gelembung-gelembung kecil yang menari-nari dalam batok kepala. Membawaku kembali menelusuri lorong-lorong yang nyaris saja aku lupakan. Biang keladinya adalah kopi hitam.
Kopi hitam keparat yang selalu muncul di meja lelaki berkumis, di dalam ruang tamu sederhana, yang selalu aku saksikan setiap pagi dari balik daun jendela yang terbuka.
Ketika sudah begini, maka teman-temanku akan mengerumuniku. Berebut mengeluarkan suara-suara yang timbul tenggalam. Semakin lama berdenging, menjerit. Sehingga membuat telingaku seakan tak sanggup menampungnya.
“Kopi hitam laknat!”
“Kopi hitam keparat!”
“Kopi hitam pembunuh!”
“Surya membunuh dengan kopi hitam!”
Entah siapa Surya, nyatanya aku tak mengenal nama itu. Nama yang kerap kali didenging-dengingkan teman-temanku seperti pagi ini. Maklum saja, aku hanya di sini ketika pagi. Sehingga tak banyak yang dapat aku saksikan dan dengarkan. Dan lagi, aku tak mau tahu. Aku malas bertanya ke mereka.
“Penjarakan Surya!”
Lagi-lagi nama Surya berdentam di telingaku.