Kabar gembira datang dari Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang berada di level 49,3 pada Juli 2024. PMI Manufaktur sendiri merupakan indeks yang menunjukkan tren yang berlangsung pada sektor manufaktur. Data pada Juli 2024 mengakhiri zona ekspansi manufaktur Indonesia dan tertinggal oleh Thailand, Vietnam, dan Filipina.Â
Kementerian Perindustrian menyampaikan bahwa penurunan ini sudah diprediksi sejak relaksasi impor diberhentikan. Padahal fakta di lapangan sebenarnya lebih rumit dan Menperin menyangkal hal ini.
Sebelum lebih lanjut perlu di-breakdown industri apa saja yang termasuk industri manufaktur. Industri manufaktur mencakup makanan dan minuman, tekstil & pakaian, otomotif, kimia & bahan dasar, farmasi, logam & mesin, dan elektronik.
Lalu, apa saja yang terjadi pada setiap bidang perusahaan ini di Indonesia? Mengapa Jalan Industri Manufaktur Indonesia semakin berat?
Permasalahan Industri
Jika dilihat dari bidang industri, banyak sekali permasalahan yang terjadi pada beberapa perusahaan di Indonesia. Kapasitas Krakatau Steel sebagai produsen baja terbesar di Indonesia yang tidak optimal karena kebakaran pabrik. Kimia Farma juga menutup beberapa pabrik farmasinya. Sritex produsen tekstil terbesar berusaha bertahan dengan hutang yang menumpuk.Â
Beberapa perusahaan juga harus bersaing produk dari perusahaan luar yang dari segi efisiensi lebih baik. Chandra Asri, produsen Petrokimia terkemuka di Indonesia gagal bersaing. Beberapa bulan lalu perusahaan produsen plastik dan keramik juga menjerit karena produk China yang lebih murah. Hanya industri makanan dan minuman yang terlihat memiliki progres pertumbuhan yang baik.Â
Pemerintah selalu mengatakan menarik investasi ini itu tapi mereka lupa kalau tidak ada ekosistem industri di Indonesia. Satu-satunya ekosistem industri yang baru saja hampir terbentuk sempurna hanya industri baterai mobil listrik. Selama ini hanya mengalir begitu saja, bagai air ditarik sungsang.Â
Daya Beli Masyarakat
Berkurangnya kelas menengah dan kemampuan daya beli yang menurun sudah terlihat beberapa bulan belakangan. Dari isu masyarakat makan tabungan hingga meningkatnya kredit macet perbankan, baik UMKM ataupun leasing.
Permasalahan di masyarakat sangat kompleks, dari inflasi barang yang tidak sebanding dengan kenaikan gaji sampai besarnya porsi pekerja informal di Indonesia.
Masyarakat yang kini mulai menahan belanja atau bahkan tidak punya uang untuk belanja memperparah penyerapan produk di pasar. Masyarakat menghabiskan uang membeli bahan pokok yang harganya tidak stabil.
Isu ini perlu diperhatikan secara khusus oleh pemerintah karena insentif saja tidak cukup. Kemampuan beli masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Permasalahan yang kompleks ini membuat penulis membuka artikel ini dengan kabar bahagia. Pemerintah selama ini dengan percaya diri mengatakan ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen tanpa melihat kenyataan kondisi masyarakat di lapangan. Mungkin saja setelah kontraksi PMI manufaktur ini pemerintah bisa melihat akar permasalahan di masyarakat, meskipun mungkin setidaknya ada harapan. Sedikit.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H