Betapa sering halusinasi dianggap berbau negatif oleh sebagian orang pada suatu saat. Namun, bagi Sari Koeswoyo, halusinasi tampak dibenarkan ketika sedang mencari inspirasi dalam melukis.
Demikian kurang lebih saya tangkap dari perkataan Beliau pada Kotekatrip ke-9. Tepatnya, mengunjungi pameran tunggal lukisan karya Beliau di ruang Garasi, Gandaria, Jakarta Selatan.
Dengan begitu bersemangat, Beliau memaparkan cerita atau latar belakang: mengapa lima lukisannya yang dipamerkan akhirnya tercipta. Kepada anggota Kotekasiana yang hadir, semangat Beliau tiada tanding.
Tiadalah seperti membaca buku pelajaran, intonasi dan ekspresi Beliau sangat membara. Saya di antara yang hadir mendengar secara saksama dan pada kali tertentu, merasa tertarik dengan ceritanya.
Ya, dari lima lukisan berpakem wayang, masing-masing punya cerita sendiri. Secara garis besar, lukisan bertema feminis Jawa. Warna-warni melengkapi goresan di atas kanvas (cukup besar berukuran 120x140 cm).
Tiada yang bisa menduga bahwa Sari Koeswoyo yang dulunya seorang penyanyi, mampu melukis dengan baik bahkan menyelenggarakan pameran tunggal.
Tentu, tiadalah pula yang bisa melakukan demikian dengan sendirian. Hal baru yang berbeda sama sekali (meskipun masih dalam ragam kesenian). Ada orang di balik Beliau yang mendukung. Â
Salah satunya ialah Kana Budi Prakoso, seorang pelukis yang dianggap adik sekaligus guru atau mentor Sari dalam melukis. Beliau pun menyediakan garasi rumahnya sebagai tempat pameran.
Dari cerita Sari Koeswoyo, ada kalanya sepulang syuting, Beliau langsung melukis meskipun sampai rumah pukul tiga pagi. Mungkin ada imajinasi dalam halusinasinya yang mendesak untuk segera ditorehkan.
Atau, bisa jadi Beliau ingin segera menyempurnakan lukisannya (yang sudah ada) ketika inspirasi datang. Yang pasti, ketika ditanya keluarganya pagi-pagi tentang kapan pulang, Beliau menjawab (kurang lebih), "Udah sejak jam tiga, tapi saya langsung melukis," kata Beliau dengan tersenyum.
Halusinasi (memang) bagi seniman adalah sesuatu yang penting. Entah apa yang menuntun, terkadang imajinasi dalam pikir bisa mencipta suatu cerita, yang boleh dituangkan dalam benar-benar cerita (cerpen atau novel) atau disuratkan berbentuk lukisan.
Gelar Karya Tunggal Sari Koeswoyo Bertema Lakonmu Opo mengangkat lima lukisan utama di atas kanvas besar. Dimulai dari "Mbok Embik" yang menggambarkan sisi para perempuan pelayan dalam (rata-rata) istana.
Mereka tidak sekadar pelayan, tetapi juga pendidik. Ya, mengemong anak/putra/putri Raja hingga kelak besar menjadi "orang". Jasanya patut diabadikan dan tanpa mereka, belum tentu turunan Raja bisa menjadi "orang".
Pada lukisan berikutnya, Beliau menjelaskan cerita dengan judul "Bukan Wani Ditata". Secara tampak sekilas, banyak tangan dan jari-jari yang menunjuk kepada seorang perempuan.
Perempuan itu seolah-olah dengan tegas ingin berkata bahwa perempuan bisa mengatur dirinya tanpa harus diatur begini begitu. Ada sedikit protes yang ditunjukkan, pada dasarnya, perempuan juga seorang manusia yang mampu memimpin hidupnya sendiri.
Berlanjut pada dongeng Sari selanjutnya (yang masih dipimpin oleh halusinasi), ada lukisan "Wis Wayahe" atau di-indonesia-kan "Sudah Waktunya".
Tampak Sang Hyang -- yang tidak dijelaskan gendernya -- menyandang selendang terbuat dari kain perca. Sang Hyang mengobarkan api dan air kehidupan yang dipersonifikasikan dalam bentuk naga (sering muncul pada relief candi).
Masih ada lagi lukisan "Portal Kehidupan" dengan perempuan tergambar sentral dan ada warna merah muda bergradasi dari tua ke muda di sekelilingnya. Dari perempuanlah, muncul kehidupan.
Ditutup pada lukisan kelima dan paling lama dibuat (berdasarkan pengakuan Beliau) adalah "Wahyu Temurun". Diceritakan pada goresan kuasnya, seorang ratu yang tidak kunjung melahirkan pangeran penyambung dinasti kerajaan. Lantas raja bersemadi dan akhirnya lahirlah anak berkepala gajah (seperti Ganesha).Â
Sekali lagi, halusinasilah yang menuntun Beliau menyelesaikan lukisan-lukisan itu dan lukisan-lukisan kecil lainnya dalam potret bingkai yang disusun sedemikian rupa sehingga tampak teratur dan (tentu) indah dengan permainan warnanya.
Mendengar Beliau berbincang dan mendongeng lukisannya itu sungguh menarik dan saking menariknya, tak sadar waktu dua jam lewat begitu saja.Â
Kami berhasil seperti masuk dalam mantra untuk tenang mendengar dan mencerna halusinasi-halusinasinya yang menginspirasi itu. Lukisan-lukisan itulah buktinya.
Menutup acara Kotekatrip ke-9, kami dijamu dengan makanan kecil dan minuman ringan. Di sela acara, saudara sepupu dari Beliau datang: Chica Koeswoyo dan Helen Koeswoyo.
Adalah pasti kehadiran mereka membuat pertemuan semakin semarak. Kami mengabadikannya dengan membuat video sederhana dan mengambil foto di antara lukisan yang terpajang.
Secara pribadi, saya menangkap Beliau berhasil menjelaskan lukisannya. Pertanyaan dari yang hadir mampu dijawab. Entah, halusinasi apa yang telah menuntun Beliau sehingga melukis dengan baik dan memaparkan dongeng secara menarik.
Halusinasi tidaklah selalu buruk jika ditangkap dengan pikiran dan perasaan yang tepat dengan selanjutnya dicurahkan dalam dunia seni. Ada kreativitas di sana. Imajinasi tumbuh. Cerita dikreasikan.
Tetaplah terus berhalusinasi, Sari Koeswoyo, dan menginspirasilah dalam dunia seni lewat lukisan-lukisan keren berikutnya.Â
...
Jakarta,
28 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H