Atau, bisa jadi Beliau ingin segera menyempurnakan lukisannya (yang sudah ada) ketika inspirasi datang. Yang pasti, ketika ditanya keluarganya pagi-pagi tentang kapan pulang, Beliau menjawab (kurang lebih), "Udah sejak jam tiga, tapi saya langsung melukis," kata Beliau dengan tersenyum.
Halusinasi (memang) bagi seniman adalah sesuatu yang penting. Entah apa yang menuntun, terkadang imajinasi dalam pikir bisa mencipta suatu cerita, yang boleh dituangkan dalam benar-benar cerita (cerpen atau novel) atau disuratkan berbentuk lukisan.
Gelar Karya Tunggal Sari Koeswoyo Bertema Lakonmu Opo mengangkat lima lukisan utama di atas kanvas besar. Dimulai dari "Mbok Embik" yang menggambarkan sisi para perempuan pelayan dalam (rata-rata) istana.
Mereka tidak sekadar pelayan, tetapi juga pendidik. Ya, mengemong anak/putra/putri Raja hingga kelak besar menjadi "orang". Jasanya patut diabadikan dan tanpa mereka, belum tentu turunan Raja bisa menjadi "orang".
Pada lukisan berikutnya, Beliau menjelaskan cerita dengan judul "Bukan Wani Ditata". Secara tampak sekilas, banyak tangan dan jari-jari yang menunjuk kepada seorang perempuan.
Perempuan itu seolah-olah dengan tegas ingin berkata bahwa perempuan bisa mengatur dirinya tanpa harus diatur begini begitu. Ada sedikit protes yang ditunjukkan, pada dasarnya, perempuan juga seorang manusia yang mampu memimpin hidupnya sendiri.
Berlanjut pada dongeng Sari selanjutnya (yang masih dipimpin oleh halusinasi), ada lukisan "Wis Wayahe" atau di-indonesia-kan "Sudah Waktunya".
Tampak Sang Hyang -- yang tidak dijelaskan gendernya -- menyandang selendang terbuat dari kain perca. Sang Hyang mengobarkan api dan air kehidupan yang dipersonifikasikan dalam bentuk naga (sering muncul pada relief candi).
Masih ada lagi lukisan "Portal Kehidupan" dengan perempuan tergambar sentral dan ada warna merah muda bergradasi dari tua ke muda di sekelilingnya. Dari perempuanlah, muncul kehidupan.