Sebelum kuceritakan apa yang terjadi selanjutnya, kusampaikan padamu bahwa tiga sasaran tembak itu merupakan SOP GoKill untuk pembunuh spesialisasi korban perkosaan. Kecil kemungkinan orang bertahan hidup ketika kepalanya ditembak. Hampir mustahil waktu peluru bersarang di jantung, masih ada napas. Untuk bagian mata, tujuannya agar korban perkosaan tak mampu melihat lagi wajah pemerkosa -- ketika ditanya pihak berwenang -- sehingga tak ada alasan kuat untuk memenjarakannya.
Kulihat ia menggigil. Badannya yang basah semakin basah. Keringat dingin bercampur air mandi yang belum kering. Kakinya gemetar. Aku menatap tajam matanya yang pucat. Inilah saatnya aku berkuasa. Tentu, aku akan menyampaikan permintaanku sebagai tawaran atas ganti nyawanya. Ketakutannya kupermainkan. Aku menikmati bagaimana ia mengabulkan dengan tubuhnya yang setengah telanjang itu. Tak berapa lama, aku membunuhnya.
Lain lagi dengan wanita yang selalu pulang kerja paling malam di pabrik pinggir kota. Parkiran sudah sepi. Orang-orang sudah pada pulang. Ia keluar dari pintu masuk pabrik dan berjalan beberapa meter. Aku menunggu di belakang mobilnya. Belum sempat ia membuka pintu mobil, pistolku sudah kuarahkan ke dahinya. Ancaman yang sama kutanyakan.
"Kau ingin peluru ini bersarang di mana? Kepalamu, jantungmu, atau matamu?"
Saat itu, ia mau memberikan tasnya yang berisi banyak uang sebagai ganti nyawanya. Ya, beberapa saat. Kemudian, nyawanya melayang.
Sebetulnya aku tak ambil pusing, mau jadi pembunuh spesialisasi apa. Tapi, lantaran sempat merasakan kasih sayang ibu sebelum ia pergi menghilang, aku tak tega melihat cipratan darah dari tubuh perempuan. Sialnya, korban perkosaan rata-rata perempuan. Lantaran aku benar-benar tak sampai hati, sengajalah kukosongkan peluru dari pistolku pada setiap tugas pembunuhan. Meskipun begitu, sebagai pembunuh profesional, aku tetap harus menjalankan tugasku. Kupastikan orang-orang yang menjadi target pembunuhan benar-benar tak bernyawa.
Wanita di apartemen itu kubekap dengan bantal sampai pingsan. Lanjut, kucekik lehernya sampai nadinya tak berdenyut. Untuk wanita yang membuka pintu mobil, aku membiusnya dengan saputangan beracun. Ia langsung lemas dan tergeletak di aspal. Kumasukkan tubuhnya ke dalam mobil dan kulemparkan ke sungai. Tentu, aku menunggunya tenggelam dalam arus sungai yang meluap itu.
Semakin ke sini, lantaran semakin banyak pesanan, agak-agaknya aku repot melakukan itu semua. Perlu waktu tambahan dan peralatan lagi untuk membunuh. Itu belum terhitung resiko jika tiba-tiba ada yang datang dan memergokiku sedang membunuh. Aku pun harus menghilangkan banyak jejak dari setiap barang bukti. Bukankah dengan mengokang pistol yang terisi peluru dan melontarkannya begitu saja, pembunuhan lebih cepat dan lebih praktis terjadi? Kulupakanlah ibuku sejenak.
Kuputuskan untuk mengisi pistolku dengan peluru. Tidak hanya satu. Penuh. Aku mengantisipasi kemungkinan korban tidak mati setelah tembakan pertama. Bagaimana bisa aku melapor ke aplikasi GoKill jika korban tidak mati?
Pesanan di aplikasi datang. Kali ini aku disuruh membunuh wanita tua. Rambutnya beruban. Badannya ramping. Ia baru saja pulang dari pasar. Tangannya membawa sekantung belanjaan berisi sayur. Aku sudah sembunyi dalam lemari di ruang tengah. Ketika ia melangkah ke dapur, aku keluar dari lemari dan mengagetkannya dari belakang.
"Kau ingin peluru ini bersarang di mana? Kepalamu, jantungmu, atau matamu?"