Saya akan merasa sangat bersalah jika pembaca menemukan cerpen saya tidak bermutu, pada saat mereka sudah tahu, saya sudah bercentang biru.
Kiranya tidak terhitung berapa banyak Kompasianer penyandang centang biru di blog sejuta umat ini. Dasar pemberian hanya Admin yang tahu. Beberapa kulihat punya spesialisasi. Tercermin dari tulisannya.
Setiap ulasan mendalam. Teori disisipkan. Unggahannya di kanal itu-itu saja. Barangkali memang, sebagian mengendalikan diri untuk tidak mengunggah hal-hal yang di luar kepakaran mereka.
Tahun 2023 saya sudah ambil komitmen. Saya tidak akan beropini di kanal apapun. Saya juga tidak akan mengambil puisi sebagai karya. Fokus saya hanya cerpen, cerpen, dan cerpen.
Saya akan menulis semampu saya, tentu seiring dengan itu, saya akan membaca semampu pula. Sudah jadi kebiasaan, sebelum menulis sebuah cerpen, saya harus membaca beberapa cerpen. Meskipun ide cerpen sudah terlintas, saya akan urungkan menulis sampai target cerpen ke sekian rampung saya baca.
Itulah, karena saya mengingat centang biru.Â
Centang biru itu tanda kepercayaan dari Admin. Bahwa saya dianggap mampu menghasilkan karya yang berkualitas.
Meskipun bisa saja saya agak berleha-leha menulis cerpen sekadarnya (kemungkinan tetap menyandang label pilihan karena bercentang biru), saya memilih tidak melakukannya. Lebih baik saya tidak menulis daripada cerpen saya jelek.
Di Kompasiana ini, saya memang berlatih menulis cerpen. Tahun 2022, saya sengaja rehat. Target suatu ketika, bisa lolos meja redaksi Kompas. Rindu sekali saya seandainya bisa sebuku dengan Martin Aleida, Triyanto Triwikromo, Agus Noor, Muna Masyari, Faisal Oddang, Om Seno, dan cerpenis lainnya. Boleh kan ya saya mimpi?
Pada intinya, menyandang centang biru itu berat bagi saya. Jikalau cerpen saya tidak bermutu, silakan Admin cabut centang itu. Memang kali-kali saja saya sudah tidak layak menyandangnya.