Dalam sebuah ruang kelas, seorang ibu guru bertanya pada murid-muridnya, "Nak, kalau sudah besar, kalian mau jadi seperti apa?"
Layaknya anak-anak yang masih polos hatinya, jawaban terdengar bersamaan, masing-masing berlomba menjadi yang paling keras supaya kepala ibu guru menoleh pada salah satu di antara mereka lantas mengacungkan jempol pertanda memberi perhatian.
"Dokterr!"
"Pilooott!!"
"Astronoott!!!"
"Tonggereeeettt!!!!!"
Bu guru mengorek telinga kiri, memastikan lubangnya bersih sehingga ia benar-benar tak salah dengar atas ucapan seorang muridnya. Sayup-sayup derak kipas angin berputar di dinding.
"Coba kamu, diulangi jawabanmu!"
"Tonggeret, Bu!"
"Kenapa kamu ingin seperti Tonggeret?"
"Ya, karena mereka bebas," jawab seorang Ibu kepada anaknya setelah beberapa langkah masuk ke Kebun Raya Bogor. Namanya juga anak-anak, pasti menyimpan pertanyaan untuk sesuatu yang baru mereka tahu.
"Jadi, karena bebas, mereka bisa teriak sesukanya. Begitu ya, Bu?"
Tampaknya perhatian anak yang masih bocah itu terserap pada betapa ribut suara-suara di antara pohon-pohon besar yang ranting-ranting daunnya menjuntai ke tanah. Langit biru membentang. Udara di antara angin yang bertiup terasa sejuk. Matahari berdiam di balik awan. Hamparan rumput hijau muda tampak segar. Air dari pancuran otomatis yang berputar terciprat-ciprat. Mata anak itu berbinar-binar, penuh bahagia seakan terbebas dari penjara: sekapan dinding lima kali lima meter persegi yang biasa ia tinggali bersama ibunya.
Sang ibu menggandeng tangan anaknya. Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju satu tempat perhentian. Lantas duduk. Di sana sudah terlebih dulu ada, kumpulan ibu bersama anak-anaknya bersantai di atas tikar. Rantang-rantang tempat makan berserak. Suara tonggeret masih ribut.
"Ret...ret...ret...ret...ret...ret...ret...ret...ret...ret..."
"Seperti apa bentuk tonggeret, Ibu?"
Lantaran tak tega membiarkan anaknya menunggu jawaban, ibu buru-buru melemparkan pandang ke sekitar. Bola matanya membesar. Di batang pohon Beringin, selipan akar-akar pohon Angsana yang menyembul ke permukaan tanah, pada lapisan bopeng-bopeng kulit Merbau, ibu masih belum melihat tonggeret. Agaknya setelah menyadari bahwa matanya sedikit rabun sehingga sulit melihat benda-benda kecil, ibu memilih mengambil ponsel dari dalam saku celana. Ibu memencet tombol lantas menghadapkan layar ponsel ke anaknya.
"Seperti ini, Nak."
Tampak gambar seekor serangga berwarna hijau muda. Hampir mirip jangkrik. Kepalanya pendek, melebar, dan letaknya melintang. Kedua bola matanya bulat menonjol. Sayapnya kokoh pun tembus pandang. Beberapa tulang pada tubuh terlihat jelas.
Barangkali tertarik dengan bebasnya tonggeret bersuara di antara pepohonan, saling bersahutan semakin kencang, bernyanyi seperti dalam orkestra sehingga ampuh menebas kesepian anak itu selama di rumah, anak itu lekas menyandarkan kepala kecilnya di atas kedua paha ibu yang dari tadi sudah diselonjorkan.
"Ceritakan padaku lagi, Ibu, cerita tentang tonggeret itu."
Maka tenggelamlah imajinasi anak itu dalam suara berat ibunya.
Betapa bebas tonggeret hidup di hutan. Setelah menetas dari telur yang ditinggalkan induknya di cabang ranting pohon atau rerumputan, tonggeret-tonggeret bayi yang masih kecil akan jatuh ke tanah. Mereka jumlahnya tidak sedikit, bisa jadi sampai tak terhitung. Mereka punya banyak teman. Dalam rombongan itu, mereka akan mengeruk-ngeruk permukaan tanah, masuk lewat rongga-rongganya, lantas sembunyi di dalam. Untuk bertahan hidup, mereka makan sari-sari akar pohon. Barangkali lantaran terlalu senang bermain-main dengan teman-teman kecilnya, mereka betah hidup di sana. Ya, sampai tujuh belas tahun, mereka menghabiskan masa kecilnya. Entah sudah berapa kali mereka tertawa riang karena terus-terusan bersenda gurau. Sepertinya enak hidup seperti tonggeret.
"Hebat juga kamu, tahu banyak soal tonggeret!" puji Ibu Guru. Kedua tangannya menepuk. Baru kali ini ia melihat anak SD kelas tiga paham betul pelajaran Biologi tentang tonggeret.
Seiring berjalannya waktu, agaknya anak itu benar-benar tidak sedang bercanda. Ia malas belajar. Pekerjaan rumah yang dititipkan Bu Guru dibiarkan begitu saja. Detik-detik menjelang ujian, ia malah menghabiskan waktu dengan menonton TV. Sepulang sekolah, ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia pergi main lato-lato bersama temannya. Tangannya mahir menabrakkan dua bulatan pada ujung tali, ke atas ke bawah, samping kanan, samping kiri, terkadang dimainkan pula di atas kepala. Berjam-jam ia bisa main lato-lato. Bunyi cetak-cetok terus-terusan terdengar. Di atas ubin lantai, di permukaan dinding rumah, bahkan di aspal jalan, lato-latonya masih berbunyi. Betapa enak main-main bersama teman-teman, batinnya.
Sang ibu yang tak tega memarahi anaknya hanya bisa bilang "ayo belajar" lewat suara lembut. Anak itu membiarkan saja. Barangkali baginya, dengan bermain-main, ia bisa tetap menjadi anak kecil. Umurnya memang bertambah, tapi statusnya masih anak kecil.
Bagaimana tidak? Tanpa belajar, siapa yang bisa jawab soal ujian? Nilainya jeblok. Rapotnya merah. Ia tinggal kelas. Bahkan, sudah dua kali ia tidak naik ke kelas empat.
Lantaran merasa malu di depan guru, sang Ibu minta pindah sekolah. Ia berharap di sekolah baru, barangkali anaknya bisa tambah semangat belajar. Nyata-nyatanya, harapan hanya tinggal harapan. Anak itu masih seperti biasa. Tak mau belajar, pulang sekolah langsung main, kadang-kadang menginap tanpa izin di rumah temannya.
Bagaimanalah perasaan ibunya? Meskipun tempat tinggal mereka sempit, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan anaknya. Makan dicukupi, mainan barang sederhana dibelikan, pakaian dan celana setiap tahun minimal ada satu yang baru. Ibu tetap tak tega memarahi anaknya. Kali-kali saja kalau dimarahi, anak itu malah tambah membandel.
Semakin ke sini, melihat kelakuan anaknya, tak kuat lagi ternyata sang ibu. Umur tambah tua, ibu mendadak meninggal. Barangkali rasa kecewa menumpuk dalam batinnya, mengapa anak ini masih main-main saja padahal usianya makin tambah. Itu benar-benar menambah sakit di jantungnya yang tak pernah ia ceritakan. Di kamar waktu itu, ia mengembuskan napas terakhir. Dalam usia tujuh belas tahun, anak itu masih sibuk bermain-main, bercanda tawa riang dengan temannya, bahkan entah saking senangnya sampai tak mengucur air mata ketika ia melihat ibunya tak bergerak.
Sepeninggal ibu, tentu, tak ada lagi yang mencukupi makannya. Tak ada lagi yang membelikannya pakaian. Ibarat anak ayam kehilangan induk, anak itu harus berjuang sendirian. Umur tujuh belas tahun masih setara kelas satu SMP, siapa yang mau mempekerjakan? Untuk bertahan hidup barang mencari sesuap nasi, anak itu harus ke pasar pagi-pagi, menjadi buruh angkat-angkat. Tulang belakangnya bengkok.
Tagihan listrik bengkak lantaran uangnya habis sekadar makan. Belum lagi tunggakan biaya air. Membayar uang kontrakan. Ia merasa tak tahan dengan beban hidup yang tiba-tiba datang. Dalam usia dewasanya, ia merasa ingin kembali ke kanak-kanak. Teringatlah ia pada masa-masa kecil sang tonggeret. Menjadi dewasa itu tak enak. Penuh derita, tak ada lagi waktu canda. Di depan pusara ibunya, ia menangis. Sebilah silet tersayat di nadi tangan. Ia rebah. Terdengar suara, "Aku rindu Ibu."
Barangkali Ibu sudah terlalu mengantuk lantaran angin sepoi-sepoi di kebun raya membelai-belai rambutnya. Suhu udara yang semakin dingin mengatup-ngatupkan kelopak matanya.
Ibu lupa untuk menyelesaikan dongengnya. Pada akhir musim penghujan, setelah menghabiskan masa kanak-kanak selama tujuh belas tahun, tonggeret dewasa keluar dari dalam tanah untuk kawin. Mereka hidup di pepohonan hanya dua sampai empat minggu. Setelah kawin, tonggeret mati.
...
Jakarta,
27 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H