Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Dongeng Tonggeret

27 Januari 2023   01:14 Diperbarui: 30 Januari 2023   21:30 1465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tonggeret, sumber: lifeslittlemysteries via beritasatu.com

Maka tenggelamlah imajinasi anak itu dalam suara berat ibunya.

Betapa bebas tonggeret hidup di hutan. Setelah menetas dari telur yang ditinggalkan induknya di cabang ranting pohon atau rerumputan, tonggeret-tonggeret bayi yang masih kecil akan jatuh ke tanah. Mereka jumlahnya tidak sedikit, bisa jadi sampai tak terhitung. Mereka punya banyak teman. Dalam rombongan itu, mereka akan mengeruk-ngeruk permukaan tanah, masuk lewat rongga-rongganya, lantas sembunyi di dalam. Untuk bertahan hidup, mereka makan sari-sari akar pohon. Barangkali lantaran terlalu senang bermain-main dengan teman-teman kecilnya, mereka betah hidup di sana. Ya, sampai tujuh belas tahun, mereka menghabiskan masa kecilnya. Entah sudah berapa kali mereka tertawa riang karena terus-terusan bersenda gurau. Sepertinya enak hidup seperti tonggeret.

"Hebat juga kamu, tahu banyak soal tonggeret!" puji Ibu Guru. Kedua tangannya menepuk. Baru kali ini ia melihat anak SD kelas tiga paham betul pelajaran Biologi tentang tonggeret.

Seiring berjalannya waktu, agaknya anak itu benar-benar tidak sedang bercanda. Ia malas belajar. Pekerjaan rumah yang dititipkan Bu Guru dibiarkan begitu saja. Detik-detik menjelang ujian, ia malah menghabiskan waktu dengan menonton TV. Sepulang sekolah, ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia pergi main lato-lato bersama temannya. Tangannya mahir menabrakkan dua bulatan pada ujung tali, ke atas ke bawah, samping kanan, samping kiri, terkadang dimainkan pula di atas kepala. Berjam-jam ia bisa main lato-lato. Bunyi cetak-cetok terus-terusan terdengar. Di atas ubin lantai, di permukaan dinding rumah, bahkan di aspal jalan, lato-latonya masih berbunyi. Betapa enak main-main bersama teman-teman, batinnya.

Sang ibu yang tak tega memarahi anaknya hanya bisa bilang "ayo belajar" lewat suara lembut. Anak itu membiarkan saja. Barangkali baginya, dengan bermain-main, ia bisa tetap menjadi anak kecil. Umurnya memang bertambah, tapi statusnya masih anak kecil.

Bagaimana tidak? Tanpa belajar, siapa yang bisa jawab soal ujian? Nilainya jeblok. Rapotnya merah. Ia tinggal kelas. Bahkan, sudah dua kali ia tidak naik ke kelas empat.

Lantaran merasa malu di depan guru, sang Ibu minta pindah sekolah. Ia berharap di sekolah baru, barangkali anaknya bisa tambah semangat belajar. Nyata-nyatanya, harapan hanya tinggal harapan. Anak itu masih seperti biasa. Tak mau belajar, pulang sekolah langsung main, kadang-kadang menginap tanpa izin di rumah temannya.

Bagaimanalah perasaan ibunya? Meskipun tempat tinggal mereka sempit, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan anaknya. Makan dicukupi, mainan barang sederhana dibelikan, pakaian dan celana setiap tahun minimal ada satu yang baru. Ibu tetap tak tega memarahi anaknya. Kali-kali saja kalau dimarahi, anak itu malah tambah membandel.

Semakin ke sini, melihat kelakuan anaknya, tak kuat lagi ternyata sang ibu. Umur tambah tua, ibu mendadak meninggal. Barangkali rasa kecewa menumpuk dalam batinnya, mengapa anak ini masih main-main saja padahal usianya makin tambah. Itu benar-benar menambah sakit di jantungnya yang tak pernah ia ceritakan. Di kamar waktu itu, ia mengembuskan napas terakhir. Dalam usia tujuh belas tahun, anak itu masih sibuk bermain-main, bercanda tawa riang dengan temannya, bahkan entah saking senangnya sampai tak mengucur air mata ketika ia melihat ibunya tak bergerak.

Sepeninggal ibu, tentu, tak ada lagi yang mencukupi makannya. Tak ada lagi yang membelikannya pakaian. Ibarat anak ayam kehilangan induk, anak itu harus berjuang sendirian. Umur tujuh belas tahun masih setara kelas satu SMP, siapa yang mau mempekerjakan? Untuk bertahan hidup barang mencari sesuap nasi, anak itu harus ke pasar pagi-pagi, menjadi buruh angkat-angkat. Tulang belakangnya bengkok.

Tagihan listrik bengkak lantaran uangnya habis sekadar makan. Belum lagi tunggakan biaya air. Membayar uang kontrakan. Ia merasa tak tahan dengan beban hidup yang tiba-tiba datang. Dalam usia dewasanya, ia merasa ingin kembali ke kanak-kanak. Teringatlah ia pada masa-masa kecil sang tonggeret. Menjadi dewasa itu tak enak. Penuh derita, tak ada lagi waktu canda. Di depan pusara ibunya, ia menangis. Sebilah silet tersayat di nadi tangan. Ia rebah. Terdengar suara, "Aku rindu Ibu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun