Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Abu Ibu dan Abang

16 Januari 2023   22:28 Diperbarui: 16 Januari 2023   22:54 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siapalah pelaut yang bisa tahan berhari-hari di laut tanpa bercinta? Memandang wanita pujaannya mengenakan daster setengah terbuka bagian atas -- sepasang dada menyembul -- dengan belahan paha putih terlihat bersih tanpa noda adalah keharusan dan rutinitas Bapak sepulang berlayar. Ibu tampak menggoda di atas kasur. Matanya berkedip genit. Lidahnya sedikit terjulur, bergerak membasahi bibirnya yang merah merona.

Bapak yang baru membuka pintu rumah sudah menduga. Seusai melepas sepatu dan menaruhnya di atas rak, ia mempercepat langkah. Pintu kamar Bapak sudah sedikit terbuka. Dari jauh kelihatan, wanita pujaan menunggu.

Belum sampai tangan Bapak menekan gagang pintu, terdengar sesuatu dalam perut. Kening Bapak berkerut. Ia merasa begitu mulas. Sesaat setelah memberi isyarat pada Ibu, Bapak lari terbirit-birit ke kamar mandi. Ada sesuatu yang mendesak ingin keluar dari perutnya. Ia jongkok dan memejamkan mata. Entah kenapa, tiba-tiba kepala Bapak pusing. Keseimbangannya hilang. Ia terpeleset, jatuh ke lantai yang sudah licin dari sejak entah. Tidak ada yang Bapak ingat setelah itu.

Lantaran penasaran dengan cerita Abang yang lebih sering pendiam di rumah dan baru saja meninggal, Bapak meletakkan guci Ibu ke atas meja dan mengambil guci hijau muda berisi abu Abang. Bapak menggoyangkan guci dan butiran abu kembali bergesek.

Abang tampak keluar dari kamarnya. Ia hanya mengenakan sarung. Badannya yang berotot dan tampangnya yang ganteng membuat birahi Ibu memuncak. Darah Ibu berdesir. Ada langkah kaki perlahan. Tangan Ibu melambai-lambai dari dalam kamar, seakan memanggil. Abang menoleh. Ia mengendap ke kamar Bapak. Terdengar bunyi derit pintu. Nafsu membuat keduanya kalap. Kepala Bapak semakin sakit.

Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Aku hanya kesal seusai menonton televisi di ruang tengah. Bagaimana bisa ada berita, seorang menantu menggagahi mertua? Meskipun berdasar rasa suka, apakah layak percintaan semacam itu? Masih dalam satu keluarga? Masih kenalan dalam kerabat yang sangat dekat? Mengapa mereka tidak takut menyakiti anggota keluarga yang mereka sayangi? Adakah cinta membuat orang jadi hilang akal? Bercinta dengan sana, bercinta dengan sini, tanpa lihat siapa yang dicintainya?

Samar-samar suara aneh muncul dari dalam kamar. Mataku masih memandang televisi. Dari balik punggungku, derit pintu kembali terdengar. Bapak masih tergeletak di lantai kamar mandi.

Sebetulnya, saat itu, aku tersenyum bukan untuk menguatkan Bapak. Di tengah bunyi percikan api yang terus membara, butiran-butiran abu kecil berloncat-loncatan, asap hitam membubung dalam gelap, bau sangit daging tubuh Abang yang terbakar, tulang-belulang tinggallah sisa, aku melihat keadilan di sana. Aku merasakan Abang sedang menerima karma.

Pun kurasa itu belum cukup. Penodaan akan kesucian dan keharmonisan keluarga dilanggar. Aku tidak lagi dipandang sebagai adik yang harus disayang. Belum lama pintu kamar Bapak terbuka, dari pantulan kaca televisi, aku melihat Abang keluar dengan gagahnya. Mataku terbelalak. Kutolehkan pandang dan aku menatap dua sosok sedang telanjang. Aku mendadak jadi bulan-bulanan. Abang mendorongku sampai kepalaku terbentur tembok. Hidungku keluar darah. Seketika kunang-kunang berputar di kepala.

Sepanjang Bapak kembali berlayar, Abang terus saja mengancamku untuk tidak melapor. Pisau kecil nyaris menyentuh leherku jika sepatah kata saksi terbilang. Aku dirundung takut, takut, dan takut, sampai memuncak sekarang. Kepalaku serasa dipenuhi arang.

Bapak terkulai lemas. Aku berlari ke arahnya. Kusentakkan guci Ibu dari meja. Kuraih guci Abang dari tangan Bapak. Kulemparkan ke arah dinding. Terdengar bunyi kaca pecah. Abu-abu menghambur ke ubin. Kucolokkan kabel kipas angin. Kutekan tombolnya. Angin kencang melibas lantai. Abu semakin menghambur, menghambur, menghambur, hilang entah ke mana, bersama memori yang tak ingin lagi kuingat. Aku menegakkan kepala. Sudah lebih dari cukup, sakit yang Bapak rasakan.

...

Jakarta,

16 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun