Berselang sebulan sejak kelahiran Anak Haram, Nasib Sial keluar dari kandungan -- tentu dari ibu yang beda. Dua bulan kemudian, seorang bayi -- dari ibu yang lain lagi -- lahir lagi di kamar bidan desa. Badannya kurus kerempeng. Tak ada sehelai rambut barang tipis di kepala. Bibirnya mencong ke kiri. Seluruh kulit wajahnya dipenuhi bercak-bercak kuning kecil, menggumpal dan banyak, yang jika ditekan, keluar nanah. Bau sekali. Orang-orang bisa muntah.
"Walau jelek, janganlah Bu, dikasih nama itu," kata seorang ibu kepada ibu yang baru saja melahirkan dan menamai anaknya Buruk Rupa.
"Nama itu doa lho, Bu!"
"Ya mbok meski masa lalu kelam, masa tega sih, kasih nama anak kayak gitu?"
Dari mulut ke mulut, sudah tersebar kabar bahwa ibu si Anak Haram adalah seorang pelacur dari kota. Ibu dari Nasib Sial adalah seorang janda yang ditinggal suaminya. Untuk kabar ibu si Buruk Rupa, masih kabur informasi tentangnya, namun sangkaan para warga, keadaan bayi itu menurun dari tampang ibunya.
Ibu-ibu berkumpul di pendopo desa. Mereka terus bertanya-tanya, mengapa ada ibu menamai jelek anaknya? Lantaran kejadian sudah beruntun, mereka merasa perlu memutuskan sesuatu. Sebetulnya mereka tidak peduli benar dengan nama anak-anak itu, tapi sejak runutan kelahiran itu, sering terjadi hal-hal aneh di desa.
Tiga bapak mendadak terkapar meninggal di sawah saat hari masih berlalu sepenggal. Anak-anak yang bermain di sungai terkena penyakit gatal-gatal. Satu-satunya sumber mata air di desa memancarkan air rasa pahit.
"Apa karena nama-nama itu, desa kita kena kutuk?"
"Apa malaikat sudah tak mau turun dari kayangan?"
"Jangan-jangan yang datang iblis. Apa malaikat sekarang itu iblis yang menyamar? Tahu sendiri kan, karena ulah iblis, manusia dapat yang buruk-buruk."
"Sayang sekali ya, Eyang Di sudah meninggal."