Orang paling kaya dan paling ambisius di kota itu sudah mendapat apa saja yang dicita-citakan oleh kebanyakan orang: berhektar-hektar tanah, rumah mewah, uang melimpah, beristri banyak, nama terkenal, pun dihormati orang. Kau tak akan mampu menghitung luas tanah yang dimilikinya, di desa ini, di kota itu, di negeri ini, di benua itu. Kau sangat mustahil mendata jumlah rumah yang dipunyainya, di ruko ini, di perumahan itu, di apartemen ini, di istana itu. Bank-bank yang kau kenal megah dan sempat jadi incaran para perampok, tak pula sanggup menampung nominal uang yang diperolehnya. Kalau kubilang soal berapa istrinya, kupikir batang kemaluanmu akan terus berdiri, karena selain pasti takjub dengan jumlahnya, belum lagi cantik dan aduhai perawakannya. Masih ada hal yang ingin kuceritakan soal apa yang sudah didapatkannya, tapi mulutku tercekat karena hatiku tidak sanggup menerima kenyataan tentang iri yang terus membuncah.
Tak ada lagi yang diinginkannya, di luar satu-satunya yang masih ia perjuangkan untuk ia dapatkan, dan karena hal itu, aku sangat bisa melanjutkan cerita ini. Ya, aku benar-benar tidak iri tentang keinginannya itu, kemungkinan besar juga kau yang duduk di sampingku kini.
"Ada-ada saja ya keinginannya," katamu seusai sebatang rokok terlepas dari bibirmu. Belum usai telunjuk dan jari tengah tangan kananmu menghentakkan abu di ujung rokok itu, tangan kirimu menggaruk-garuk pantat.
Aku tidak menggubris ucapanmu. Pandanganku kuarahkan ke depan. Kulihat mobil sedan melaju dengan kencang, menyelip motor bebek yang dikendarai laki-laki yang mengenakan alat penopang untuk menggendong seorang anak di depannya -- kayaknya umurnya lima tahun, di belakangnya ada wanita -- kemungkinan besar istrinya -- dan seorang bayi tergencet di tengah. Kau masih menggaruk pantat. Habis itu, kau cium lagi tanganmu. Kalau bukan sahabatmu, kurasa sedari tadi aku sudah pergi jauh-jauh. Jorok tahu!
"Kau gak mandi?"
"Banyak kali pikiranmu. Mandi kek!"
Kau tertawa.
"Menurutmu gimana itu, masak ada orang punya keinginan seperti itu?" tiba-tiba kau bertanya.
"Memang ada yang bisa melarang orang punya keinginan. Suka-suka dialah."
"Yaaaaa, tapi gak gitu juga kali. Gak masuk akal inginnya itu."
"Ya, gimana lagi. Tinggal itu yang belum ia dapatkan."