"Hamba melihat ketidakadilan, Tuan!"
"Memangnya kau hidup di mana, ha? Dari dulu, dunia tempat kau tinggal memang tidak adil!"
"Tunggu dulu. Biarkan hamba bicara. Jangan percaya omongannya!" makhluk di sebelah kanan pohon itu angkat suara.
"He...! Siapa yang suruh kau bicara? Diam!!!"
Makhluk itu tertunduk. Tangan yang dipangkunya turun ke arah kaki. Ia tidak berani melihat cerlang yang mendadak berkilat begitu terang.
"Tuan," pohon melanjutkan bicara, "Mengapa hidup kami seperti tidak adil? Kami diserang tapi tak bisa melawan. Kami terus berguna, tapi dianggap tak berguna. Tuan, masih adakah keadilan?"
Makhluk di sebelah kiri pohon mengepakkan sayap. Ia terbang lantas hinggap di salah satu ranting seraya mencuitkan sebuah bunyi, yang membuat makhluk di sebelah kanan pohon tiba-tiba terbelalak, karena kaget bunyi itu ada artinya.
"Benar, Tuan. Pohon tidak mengada-ada. Saya saksinya."
"He.he..heh...! Di sini bukan pasar! Di sini saya yang atur bicara. Satu satu!"
"Sudahlah, burung. Nanti saja kau bicara," kata si pohon. Matanya menatap burung yang bertengger di rantingnya itu. Cakar burung itu mencengkeram kuat ranting, sementara mata burung menghadap ke arah makhluk di sebelah kanan pohon.
"Manusia ini, Tuan," kata si pohon sambil salah satu ranting panjangnya menunjuk makhluk di sebelah kanannya, "Sangat kejam!"