Sebagai seorang anak dan seperti lazim diajarkan orang-orang, Mirna akhirnya menuruti permintaan ibu dan menikah dengan Om Lanung. Pria berperut buncit dan berjanggut pendek kehitam-hitaman itu menggelar pesta pernikahan yang cukup menggelegar di rumah Mirna. Perlahan, barang-barang perabotan rumah tangga kembali memenuhi rumah itu.
Sebagai seorang anak yang ingin terus berbakti -- dan tentu sebagai seorang perempuan yang penuh perasaan -- Mirna tidak tega meninggalkan ibu sendirian di rumah. Setelah ia diboyong Om Lanung ke rumah baru, setiap pagi Mirna selalu memasak sarapan kesukaan ibu: nasi goreng, telur dadar mata sapi setengah matang, dan sepotong daging ayam rempah. Setiap pagi pula, Om Lanung mengantarkan sarapan itu ke rumah ibu, sebelum ia bekerja ke kantor.
Pada kepulangan pertama Mirna ke rumah, ia beralasan Om Lanung dinas ke luar pulau untuk urusan bisnis dan Mirna tidak berani tinggal sendirian. Yang kedua dan tidak jauh lamanya dengan dinas Om Lanung itu, Mirna kembali ditinggal sendirian, juga sekitar dua hari, namun dengan alasan bertele-tele dan tidak terlalu jelas.
Pada kali ketiga, Om Lanung sama sekali tidak memberi alasan. Mirna mulai curiga. Ke mana sebetulnya Om Lanung pergi? Mengapa suami bisa berani keluar rumah tanpa izin istri?
Diam-diam Mirna membuntuti Om Lanung. Sekeluarnya Om Lanung terakhir kali dari rumah saat itu, Mirna dari kejauhan segera memesan ojek dan terus mengikuti. Om Lanung dengan mobilnya melaju kencang melewati malam yang penuh kabut. Hawanya begitu dingin. Mirna sedikit menggigil. Andai saja ia tidak memakai jaket, giginya pasti gemeletuk.
Mirna terus mengikuti sampai akhirnya mobil Om Lanung berhenti di depan sebuah kafe. Om Lanung keluar dari mobil dan berjalan dengan tenang menuju pintu kafe. Di sana, sudah ada seorang wanita yang berias dengan begitu cantik. Mirna memandang dan membelalakkan matanya dari balik pohon. Â Â
Ia menunggu dan tiba-tiba sangat ingin tahu, siapa wanita yang ditemui suaminya itu. Ada sekitar dua jam mereka di dalam. Mirna memukul-mukul pahanya karena digigit nyamuk. Sesuatu jatuh dari atas pohon, menempel di tangannya, entah apa, dan sedikit bau.
Pintu kafe terbuka. Mirna membelalakkan lagi matanya yang sudah mulai mengantuk. Ia mengamati wanita yang digandeng Om Lanung. Mirna seakan tidak percaya. Ia merasa pernah melihat wanita itu. Setelah mengucek-ngucek matanya karena tidak percaya, ia yakin benar, siapa yang sedang bersama suaminya.
Pasti hanya karena cinta, perasaan yang sudah terkubur lama bisa bangkit kembali dan menghangatkan dua insan. Cinta tidak pernah memandang umur sebagaimana sepanjang umur selalu memerlukan cinta. Hati wanita manakah yang bisa tahan untuk tidak bercinta ketika terus diberi perhatian setiap hari?
Malam itu, Mirna memutuskan masuk ke kamar dan tidak meneruskan perbincangan dengan ibu. Hatinya sungguh kesal melihat orang-orang pintar sekali bermain drama. Jika tidak memandang bakti kepada ibu yang telah membesarkannya, mungkin ia tidak tahan dan melakukan sesuatu di luar kendali. Selama di kamar, ia terus menyalahkan dirinya.
Ia tetap ingin mencurahkan kekesalannya. Keesokan hari, ia sudah berencana, setelah sarapan yang barangkali Om Lanung akan bawa ke rumah, Mirna lekas berkata di depan mereka, "Ibu sudah merusak cinta saya! Saya benci ibu!"