Tanpa menunggu jawaban ibu, Mirna segera meraih segelas teh yang sedari entah kapan sudah ada dan masih tertutup rapat di atas meja tamu. Di samping gelas itu, ada gelas lain yang sudah kosong. Tutupnya tergeletak di bawah meja. Barangkali barusan ada tamu datang, begitu gumam Mirna dalam hati.
Kepulangan Mirna ke rumah kali ini -- seperti yang dulu-dulu -- ada alasannya. Namun, yang kali ketiga tidak seperti biasa. Tidak biasanya Mirna lupa mengucapkan salam. Tidak biasanya Mirna tidak memberitahu ibu soal kepulangan. Paling tidak biasa ditangkap ibunya adalah Mirna berani membentak. Anak perempuan satu-satunya yang pada akhirnya -- meskipun harus melewati beberapa rayuan -- mau melakukan apa yang ibunya katakan.
"Apakah tidak ada jalan lain, Bu?" kata Mirna beberapa hari setelah ayahnya meninggal. Belum selesai para pelayat berdatangan ke rumah, Mirna sudah dicecar permintaan ibu. Berkali-kali ibu memohon padanya, seperti tidak ada penolong lain bagi ibunya selain Mirna.
"Masakan tidak ada orang lain yang lebih muda?" Mirna terus bertanya sembari memikirkan jawaban. Memang sulit baginya untuk menikah dengan lelaki yang dua puluh tahun lebih tua. Lelaki itu teman sebaya ibunya saat SMA dan sering bermain teater bersamanya.
"Kamu mau kita miskin? Kamu mau kita jadi gelandangan di jalan?"
"Tapi ..., Bu, tapi ...?"
"Hanya Om Lanung yang bisa bantu kita."
Ayah Mirna meninggalkan banyak utang sebelum meninggal. Ia kalah judi dan semua harta dalam rumah sudah dijual. Rumah yang tidak seberapa luas itu jadi seolah-olah tampak luas karena tidak ada satu pun barang di dalamnya. Hanya Om Lanung, kenalan ibu -- seorang duda tanpa anak -- yang dirasanya bisa menolong.
Ada beberapa hari Mirna tidak makan gara-gara memikirkan itu. Banyak jerawat kecil kemerah-merahan sempat timbul dan bekasnya membuka pori-pori wajahnya yang awalnya mulus dan putih. Mirna tidak tahan dengan gatal yang ditimbulkan dan memencetnya begitu saja. Masih ada bercak-bercak nanah berwarna kuning di kukunya.
Bagi seorang gadis berumur tiga puluh tahun, pasangan hidup adalah hal terpenting dan Mirna memang maunya hanya sekali menikah. Pada sisi lain, ia sudah lelah mendengar cibiran tetangga yang selalu saja mengejeknya bahkan mengira ia seorang pencinta sesama jenis karena tidak kunjung menikah.Â
Pada hatinya yang terdalam, sebenarnya Mirna punya ketakutan untuk menikah. Kebiasaannya hidup bahagia karena sudah lama sendiri membuatnya tidak yakin akan sama bahagianya jika hidup serumah dengan orang lain. Ibunya terus meyakinkan dengan cerita bahwa mencintai orang lain bisa membuatnya bahagia.