"Ibu bohong! Cinta tidak membuat orang bahagia!" Belum selesai Mirna membuka pintu rumah yang tidak terkunci, kata-kata itu terucap lantang sampai ke arah dapur. Beberapa detik setelahnya, terdengar suara pintu tertutup kencang sekali, seperti dibanting. Engselnya sampai patah.
Seorang wanita paruh baya berjalan ke ruang tamu. Masih ada celemek terjuntai dan menempel di dasternya. Wanita itu tampak terkesiap. Malam sudah larut.
"Kamu kenapa pulang lagi, Mirna? Sudah berapa kali kamu pulang sendirian?" kata wanita itu selepas duduk di kursi tamu. "Tidak baik dilihat tetangga!" lanjutnya lagi sedikit tegas.
Mirna mengatur napas. Ia memang mendadak pulang ke rumah dan berlari secepat-cepatnya setelah turun menumpang dari tukang ojek. Ia seperti punya sesuatu yang harus dikatakan.Â
"Masa bodoh!"
"Buat apa pikirin tetangga? Ibu seharusnya pikirin saya!"
Mirna mencoba tenang dengan duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi ibunya. Rambutnya yang hitam panjang teracak-acak tidak keruan. Mirna pun tidak sempat berdandan seperti kebiasaannya setiap keluar rumah.
"Kamu kan sudah menikah, Mirna. Tidak baik kalau keseringan pulang ke rumah. Masalah harus dihadapi. Setiap rumah tangga pasti punya masalah."
Mirna menatap wajah ibu. Meskipun ada keriput di sana-sini, pipi ibu yang tirus itu masih melihatkan kecantikan masa lalu. Mata ibu putih bening di antara lingkar bola mata yang hitam pekat. Mirna mengerutkan kening, penuh tanya.
"Ibu seperti tidak bermasalah saja!"