"Lebih baik hidup dari sampah daripada hidup menjadi sampah"Â
Kalimat itu ditulis oleh seseorang -- yang berpikir -- pada bagian belakang sebuah gerobak yang saya tangkap sedang ditarik seorang kakek.Â
Kemungkinan besar seseorang yang menyempatkan waktunya menciptakan kalimat penuh filosofi -- dalam dunia persampahan -- itu adalah tukang sampah.
Saya berhenti mengayuh sepeda waktu perjalanan siang tadi. Bukan karena iba melihat kakek renta menarik gerobak. Bukan pula tertarik pada isi gerobak. Pikiran saya langsung terfokus pada kalimat itu.
Itu bukan kalimat sembarangan. Ditulis -- dengan tinta hijau pada latar hitam -- oleh orang yang berpikir baik. Saya senang dan mengabadikannya lewat kamera. Saya belajar seputar kehidupan.
Memahami pikiran sang filsuf
Saya begitu yakin, tukang sampahlah orang yang paling ahli dalam dunia persampahan. Hari ke hari, ia memungut sampah yang terus saja ada dari orang-orang.
Beragam bentuknya. Sebagian besar tentu tidak terpakai bahkan sudah rusak. Belum lagi yang teronggok di sudut-sudut jalan. Bau busuk menyengat. Binatang-binatang kecil berkerumun. Pasti kotor.
Tukang sampah itu -- entah siapa penulis kalimat itu -- paham benar bahwa tidak semua sampah tidak berguna. Dari kalimatnya, ia mengerti bahwa sebagian sampah -- jika dipilih dan dipilah -- masih laku dijual atau digunakan sendiri.
Dari sampahlah ia beroleh penghasilan. Dari sampahlah ia bisa makan. Dari sampahlah ia menghidupi keluarga.