Sedari kecil, sebagian kita diajarkan hal-hal baik dan benar oleh orangtua. Kesukaan orangtua -- dan kita -- semakin jadi tidak hanya karena telah tahu hal itu, tetapi juga melakukan.
Demikianlah kondisi pada saya sekarang. Entah kenapa, rasa senang hadir sesaat setelah mengetahui kata-kata baru dan kata-kata lama yang serasa seperti baru -- keduanya tentu baku -- dalam kamus. Saya curahkan keduanya lewat tulisan.
Kata orang, bahagia bisa dirasakan dari hal kecil. Ucapan itu benar-benar tidak sekadar kata. Kebiasaan saya di Instagram membuktikan.Â
Saya menemukan kesenangan seusai mengunggah ulang unggahan orang lain yang isinya seputar pembelajaran kata-kata. Sederhana, hanya kata-kata dengan artinya. Â
Unggahan instansi pemerhati bahasa atau yang berwenang dalam mengatur dan menyosialisasikan bahasa pun tidak lepas jadi bahan unggahan ulang.
Secara langsung, saya belajar kata-kata. Pikiran yang terbiasa cinta dengan kebaruan terpuaskan. Saya tidak sangka, ada kata itu. Saya tidak mengira, arti kata itu ternyata demikian. Banyak hal yang membuat takjub seputar kata-kata.
Kata-kata dalam bahasa lisan
Boleh diakui memang, kita terbatas menggunakan kata-kata dalam bahasa lisan. Belum lagi perkara malas baca yang tentu berimbas pada hanya sedikit kosakata diketahui.
Ada lagi soal bahasa slang (baca: gaul)Â yang muncul begitu saja dan dibuat-buat oleh sebagian kita dalam pergaulan. Bahasa asing pun demikian, menempati beberapa porsi dalam percakapan. Bahasa daerah juga ambil peran.
Kehadiran mereka sedikit banyak membuat kata-kata yang sudah lama ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia seolah-olah tidak tergunakan. Ketika diucapkan, dijelaskan, atau diunggah di media sosial oleh penggiat literasi jadi serasa baru. Saya kena dampaknya.
Cinta dengan kata-kata
Ya, kebaruan akan pengetahuan itu membuat saya ketagihan. Saya melampiaskan kesukaan akan kata-kata lewat tulisan. Saya sengaja pakai dan lebih mengutamakannya dibanding yang lain.
Mencoba membiasakan "unggah" daripada upload. "Unduh" ketimbang download. "Salindia" menggantikan powerpoint. Belum lagi kata salah kaprah seperti "absensi" alih-alih presensi.
Banyak media tulis saya gunakan untuk membiasakan. Menulis laporan guna keperluan kantor tentu wajib. Unggahan di media sosial salah satunya. Tulisan di Kompasiana tidak terkecuali.
Saya begitu menikmati mengetik kata-kata itu. Rasa suka bertambah jadi dua kali lipat. Tidak hanya karena dapat kebaruan, tetapi juga sebab sudah berbagi dengan pembaca.Â
Menyisipkan cinta dalam sastra
Bagian selanjutnya, saya sisipkan cinta itu lewat sastra (terutama cerpen). Sekarang ini, saya tipe pengarang dengan kata-kata minimal 1.000 pada setiap cerpen.
Saya memang sengaja menantang diri untuk sebisa mungkin mengembangkan pengetahuan berbagai kosakata dengan segala kebaruannya di bagian-bagian cerita.
Jika berbentuk puisi, pasti lebih tertolong karena tidak perlu banyak kata disajikan. Cukup beberapa dan itu diusahakan pilihan sehingga memikat.
Menyajikan kata-kata pilihan dalam cerpen yang sedemikian panjang terus jadi tantangan setiap kali mengarang. Tetapi, kembali lagi, itu bisa dilalui karena cinta akan kata-kata telah menguatkan.
Menjaga semangat menulis
Itulah salah satu yang membuat saya kuat, terus menulis sampai sekarang. Di mana-mana, saya akan dan tetap menulis. Lewat tulisan, saya buktikan cinta akan kata-kata.
Barangkali jika itu sedikit banyak jadi manfaat, saya sungguh bersyukur. Bisa jadi inspirasi, tidak pernah terpikirkan. Yang terutama adalah saya sudah melampiaskan rasa cinta atas kata-kata dalam tulisan.Â
Tidak enak lho, cinta ditahan-tahan! Ha-ha-ha...
...
Jakarta
16 November 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H