Kebebasan melihat dan berkomentar terbuka lebar. Belum lagi asumsi-asumsi yang tidak terkatakan, pada benak tiap-tiap pelihat.
Alhasil, ada anak-anak -- berdasarkan pengamatan dan hasil perbincangan -- merasa enggan berteman dengan orangtua pada media sosial itu.Â
Bila buat akun, bisa jadi menciptakan akun aneh -- bukan nama pribadi -- sehingga sulit dilacak. Bisa pula bilang tidak punya, padahal punya tetapi tidak memberikan, karena tidak ingin berteman. Beberapa hal berikut bisa menjadi alasannya.Â
Potensi kejadian dalam keluarga dibahas
Tidak ada yang bisa jamin, hal-hal yang telah dibahas dalam keluarga -- bahkan aib sekalipun -- tidak dibahas meluas di media sosial. Apalagi ketika salah satu pihak sedang emosi.
Interaksi itu dirasa tidaklah perlu untuk diketahui banyak orang. Orang-orang jadi mengerti masalah keluarga. Jika anak yang salah, serasa dihakimi dua kali: dunia nyata dan dunia maya.
Ada kekangan atas pribadi
Sebagian anak merasa media sosial adalah tempat sebebas-bebasnya melampiaskan ekspresi. Apa yang diunggah terserah. Mau berita bahagia atau keluhan.
Dengan terpantaunya unggahan di mata orangtua, anak merasa ada kekangan. Sudah di rumah dipantau, di luar pun sama. Bahkan dunia maya yang sangat bebas berekspresi.
Bayangkanlah, jika sedikit-sedikit orangtua memberi nasihat dan sulit memosisikan diri sebagai teman -- tetap berada di atas, anak bisa tidak nyaman dengan komentarnya yang terus saja mendidik. Saya tidak bilang nasihat itu buruk. Tetapi, kalau kebanyakan juga jenuh.