Puisi untuk merekam fenomena sosial
Demikianlah, puisi itu tercipta berdasarkan berita. Bahwa ada orang-orang di sekitar yang untuk makan saja susah payah. Padahal kita tahu, makan adalah salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi.
...Tidak ada tersisa nasi di meja itu...
Tidak usah jauh-jauh berkata soal sayur-mayur dan lauk-pauk. Sebatas nasi saja, bahan makanan terutama, tidak ada yang bisa dimakan. Kelaparan timbul.Â
...Seorang anak memandang piring kosong...
"Kita makan apa, Bu?" tanyanya.
Itulah yang ditatap kaum papa setiap hari. Barangkali sedikit pun tidak terlintas mau pakai baju apa atau tinggal meneduh di mana. Bagaimana perut yang meronta-ronta minta makan terus-menerus dihadapkan pada ketiadaan makanan.
Ibunya datang dari dapur.
Ia membawa sebuah gelas kecil berisi air.
"Minumlah dulu, Nak," jawabnya.
Kasih ibu dalam keluarga tidak pernah diragukan betapa dahsyatnya. Tidak ada ibu yang tenang-tenang saja jika anaknya belum makan. Bahkan, banyak ibu yang rela tidak makan asal anaknya makan.
Ibu kembali ke dapur.
Tidak berapa lama, anak itu berkata lagi, "Ibu, aku lapar."
Sang ibu menangis. Air matanya jatuh ke dalam gelas.
Ketika anak bilang lapar, ibunya menangis. Kelaparan memang identik dengan kesedihan. Saking tidak ada makanan, menangis adalah reaksi wajar sebab kelaparan.Â