Ada adegan demi adegan diatur agar konten menarik. Jika penerima kebaikan sampai menangis karena terharu, itu sebuah nilai tambah dan menjadikan konten lebih hidup.Â
Tak pelak, para penonton yang gampang tersentuh menjadi berdatangan. Tombol suka dipencet. Video dibagikan. Komentar baik dan pujian bertumpuk. Potensi viral semakin besar. Ketika konten dimonetisasi, sila hitung, berapa pemasukan yang tercatat sebagai pendapatan pembuat konten.
Biaya kebaikan
Seperti saya utarakan, kebaikan butuh pengorbanan. Hakikatnya, pengorbanan tidak ada yang kembali, agar tetap bisa dikatakan pengorbanan.
Apa biaya kebaikan si pembuat konten? Selain uang untuk membantu, tetek bengek di atas yang membuat konten tampil sebaik-baiknya juga perlu biaya.Â
Dari mana mendapat itu semua? Adakah pengorbanan keluar dari pembuat konten? Sekiranya yang menonton banyak bahkan berjibun, kemungkinan besar pendapatan dari monetisasi konten jauh lebih besar dibanding biaya kebaikan.
Pada sisi lain...
Kita pernah mendengar peribahasa: jika tangan kanan memberi, tangan kiri tidaklah boleh tahu. Artinya, memberilah secara sembunyi, tanpa ada orang tahu. Berarti, kebaikan yang jadi konten salah dong?
Pada sebagian hal, orang jadi tahu sebagai akibat dari tuntutan transparansi dan akuntabilitas adalah sangat baik. Semisal, ada organisasi nonprofit atau yayasan sedang membantu. Pengurusnya mengunggah sebagai konten di salah satu media sosial. Pendapatan akibat monetisasi kemungkinan jadi ada.
Saya yakin, itu tidak untuk kepentingan pribadi. Ada peraturan organisasi berlaku dalam mengelolanya. Adalah lebih baik lagi, jika kebaikan disebarluaskan di media sosial yang tidak memberi pendapatan atas konten. Jadi, orang menjadi tahu sekadar bukti bahwa kebaikan telah dilakukan. Mereka yakin, uang yang terhimpun tidak disalahgunakan.
Menyoal niat