"Kamu mau apa ke sini?" tanya satu orang-orangan sawah di depanku siang itu.Â
Suaranya seperti kakek-kakek. Aku sengaja mendekatinya, melihatnya dari dekat, karena akhir-akhir ini, orang-orangan sawah sudah tidak lagi tersenyum. Bibir mereka tiba-tiba berubah membentuk lengkungan ke bawah, seperti memberi pertanda sedang cemberut.
"Aku sedang meneliti," jawabku sambil melihat sebuah tulisan pada kaus orang-orangan itu. Dalam sebuah coretan kecil, masih bisa kubaca namanya, Lek Waji.Â
Oh iya, aku lupa bercerita, setiap orang-orangan sawah di sini diberi nama sesuai roh siapa yang hinggap di dalamnya. Dari mana tahu, roh siapa hinggap di orang-orangan yang mana? Sampai sejauh ini, belum bisa kuberi tahu, karena aku belum tahu banyak tentang desa ini.
"Kenapa Lek Waji cemberut?" tanyaku ingin tahu.Â
Keberadaanku di desa ini belumlah lama dan memang kusengaja karena tugas akhir kuliah yang menuntutku membuat sebuah penelitian, sampai sejauh mana tingkat ketergantungan masyarakat kota terhadap desa.Â
Apakah orang kota bisa bertahan dalam segala kemajuannya tanpa ada desa? Apakah mungkin mereka bisa makan selain dengan beras dari sawah-sawah desa? Tentu saja, pertanyaan utama yang harus kujawab: mengapa produksi beras di sawah di desa ini bisa berlangsung setiap bulan tanpa ada gangguan?
Orang-orangan sawah itu menggeleng. Bambu tempat mereka terikat sedikit berbunyi, seperti berputar dan tentu saja memutarkan tubuh orang-orangan itu, sehingga orang-orangan itu tidak sekadar menggeleng, melainkan juga berputar sekali, seperti sedang melihat ke sekitar. Ia memutarkan tubuhnya dan melemparkan pandang dari matanya yang berbentuk batu bulat kecil berwarna hitam yang sengaja ditempelkan berjumlah dua buah.
"Aku tidak tahu, Nak. Tapi, akhir-akhir ini, perasaanku tidak enak."
Aku diam saja mendengar suaranya yang mulai mengecil. Entah suaranya yang mengecil atau embusan angin yang terdengar kencang, aku masih bisa mendengar jelas ada masalah yang sedang dialaminya.
Aku duduk dalam sebuah dangau kecil tepat di tengah sawah. Kuamati benar, padi-padi itu sudah tumbuh besar, sebentar lagi menguning dan siap dipanen. Beberapa petani tua yang mengenakan topi caping berwarna kuning, dengan memanggul cangkul di bahu, berjalan di pematang sawah. Aku sudah mendapat izin dari salah satu di antara mereka untuk beristirahat di dangau.