Berapa banyak di antara Anda dalam menulis cerpen mengalir begitu saja? Mengutarakan apa yang ada di pikiran tanpa ada arah dan sesukanya.Â
Berapa banyak pula di antara Anda yang harus punya konsep sebelum menulis cerpen? Membuat daftar kecil tentang gambaran besar cerpen.
Saya awalnya menganut cara pertama. Semakin ke sini, saya pakai yang kedua. Semakin terbiasa saya menggunakannya. Saya pasti punya catatan kecil seputar konsep cerpen yang hendak ditulis.
Barangkali bisa berbeda, konsep yang saya punya terdiri dari setidaknya tiga: konflik dan solusi, penokohan, dan pesan moral.Â
Mungkin sesekali terkesan menggurui, mengapa cerpen harus ada pesan moralnya. Tetapi, memang begitulah sastra zaman dulu. Mengarahkan ke kebaikan. Apalagi sastra-sastra yang tertulis dalam kitab suci.
Izinkan saya membabarkan konsep saya.
Konflik dan solusi
Kendati ada cerpen yang tidak membahas konflik, sebagian besar membabarnya. Jika ingin dijelaskan, konflik bisa berarti sebuah masalah yang menimbulkan kerugian sehingga harus diselesaikan.Â
Bermacam-macam konflik ada di kehidupan nyata, biasanya diangkat dalam kisah fiksi. Konflik yang sebatas imajinasi pun banyak, tergantung kemampuan mengarang si pengarang.
Bagi saya, konflik dan solusi seketika bisa menjelaskan siapa tokoh yang terlibat dan pesan moral yang ingin disampaikan. Taruhlah konfliknya seputar perkosaan seorang bocah.
Penokohan
Siapa yang ingin diceritakan? Siapa yang menjadi subjek dan apa saja perilakunya? Bagaimana wataknya? Ciri-ciri fisiknya seperti apa? Penokohan tentu tidak sebatas makhluk hidup. Benda mati bisa dihidupkan dalam cerita fiksi.
Perkosaan seorang bocah akan menuntun saya menciptakan karakter bapak, anak yang masih ingusan, ibu yang tidak tahu apa-apa, dan tetangga yang gemar mencibir.
Pesan moral
Sudah barang tentu, pada intinya, sebagian besar kita sepakat bahwa perkosaan tidak boleh terjadi. Itu kekerasan seksual yang dilarang hukum. Agama juga tidak menghendaki.
Bisa juga pesannya berupa bagaimana orangtua mendidik anak sebaik-baiknya. Sejauh mana hubungan dan komunikasi harus terjalin baik.
Seperti diulas di atas, saya akan tulis ketiga konsep itu dalam beberapa baris di catatan kecil. Ini langkah awal saya sebelum menulis cerpen. Betapa bermanfaat, karena:
Panduan imajinasi yang ingin dikembangkan
Dari catatan itu, saya menyilakan otak saya melanglang buana. Bagaimana menciptakan sebuah adegan perkosaan yang tidak biasa. Bagaimana menggambarkan kebodohan ibu yang tidak mengawasi anak.
Bagaimana menjelaskan kelihaian bapak dalam menipu anak. Bagaimana dalam ketulusan dan kepolosan anak, ia diperdaya sampai diperkosa.
Tempat-tempat mana saja yang ingin digambarkan. Situasi dan kondisi yang ingin dibangun seperti apa. Bagaimana gejolak emosi yang ingin dirasakan bersama, baik penulis maupun pembaca.
Merupakan rambu-rambu agar tidak terlalu jauh keluar
Terkadang -- kalau saya sering -- oleh karena terlalu asyik berimajinasi dan seketika menulis begitu lancar, beberapa kisah sampingan dan tambahan bisa dibahas begitu dalam, sampai-sampai kisah utama terlewatkan. Yang penting malah sangat singkat.
Ini terbilang kebiasaan yang perlu dikendalikan dalam menulis cerpen. Jangan sampai saya keluar koridor dari konsep. Tokoh utama dibahas lebih sedikit dari yang tambahan. Konsep berguna untuk mengingatkan saya kembali fokus.
Prediksi seberapa panjang cerpen
Sudah pernah saya bahas sebelumnya, bahwa cerpen terdiri dari tiga jenis: mini (750 s.d. 1.000 kata), ideal (3.000 s.d. 4.000 kata), dan panjang (4.000 s.d. 10.000 kata).
Dengan mengetahui konsep dan menilai seberapa menarik cerita, seberapa baru ide, seberapa luas imajinasi yang hendak dikembangkan, saya terbantu untuk memprediksi seberapa sanggup kata-kata tertulis.
Bagian-bagian mana yang perlu dijelaskan singkat, mana yang lebih lengkap. Mana yang sekilas saja, mana yang ditekankan mendalam. Jumlah kata tentu jadi pertimbangan agar tulisan layak disebut cerpen.
Tahu kapan akan selesai menulis
Bagian ini penting. Saya harus tahu kapan selesai menulis. Jangan karena terlalu asyik, menulis dan terus menulis, kita tidak punya rem untuk menyelesaikan cerita.
Lama-lama cerita terlalu panjang dan mengabur. Hal-hal yang benar-benar tidak penting malah muncul. Ketika saya tahu bahwa semua konsep sudah dijelaskan mendalam, saya akan berhenti.
Apakah tokoh sudah digambarkan dengan baik? Apakah konflik gamblang diutarakan dengan emosi yang tepat? Apakah solusi berhasil dituliskan dan dipikir cukup untuk mengatasi masalah? Apakah pula pesan moral sudah disampaikan, baik tersirat maupun tersurat?
Jika itu sudah tertulis, pertanda cerpen selesai. Konsep akan mengingatkan kembali pertanyaan-pertanyaan itu sepanjang menulis.
Akhir kata...
Menulis cerpen dengan konsep bagi saya sangat menolong. Jika tidak sempat langsung mengeksekusinya, itu bisa jadi catatan untuk lain hari. Sekaligus juga guna mengabadikan ide yang sempat terlintas.
Konsep-konsep yang tertulis tinggal dikembangkan sebisa kita. Tentu, cerpen menjadi terarah dan ada rambu-rambu yang mengendalikan agar kita tidak keluar jalur.
Jadi, Anda kalau menulis cerpen, mengalir saja atau pakai konsep?
...
Jakarta
19 September 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H