Dia mendesak saya, tetapi dia sendiri tidak mau datang. Saya tahu, dia pasti lebih susah melupakan, karena tentu lebih sakit hatinya, dan sampai sebelum kepergian saya ke rumah bapak, dia masih terus saja menceritakan perilaku kejam itu.
Bagaimana kakak perempuan saya menjambak kencang rambutnya. Ia menampar berulang kali pipinya hingga memerah. Ia menjorokkan istri saya kuat-kuat, sampai kepalanya terjatuh membentur dinding. Ada bekas luka yang tergores. Ada dendam yang masih menyala.
Belum lagi umpatannya seperti kebun binatang. Sumpah serapah pun berserakan. Istri saya habis dimarah-marahinya. Saya hanya bisa terdiam melihatnya.Â
Saya tahu, kami salah. Tetapi, bagaimanalah, saya tidak bisa membendung perasaan cinta itu. Bagaimana seorang lelaki tertarik kepada seorang wanita, bukankah itu wajar? Saya pun tidak sanggup mengerti jika ternyata wanita yang saya cintai adalah adik kandung saya sendiri. Cinta memang sesekali tidak masuk akal, bukan?
Suatu kali, kami lari dari rumah untuk menikah diam-diam. Setelah beberapa waktu, kami kembali ke rumah untuk memohon ampun. Tidak ada yang menerima. Hanya perlakuan kasar dari mereka menyambut kami.
Situasi di ruang tengah kembali memanas. Masing-masing sudah duduk di kursi. Saya menunjukkan surat kuasa dari istri saya untuk mewakili kehadirannya. Paman lekas membaca dokumen warisan.
"Seluruh kekayaan atas nama saya selain rumah ini, saya wariskan ke Manto dan Surti. Untuk Ngatno dan Marti, kalian sudah mendapat hak selama saya hidup. Saya sudah membagikan harta untuk kalian. Biarlah anak saya yang hilang menikmatinya. Rumah ini saya sumbangkan untuk tempat ibadah."
Paman membacakan pesan bapak di surat wasiat. Saya terkesiap. Abang dan kakak berdiri. Ada gumpalan amarah yang ingin menyambar cepat. Kedua mata mereka nyalang. Wajah mereka begitu garang. Mereka memandang saya tanpa belas kasihan.
"Tidak perlu, Paman. Tidak perlu. Saya menolak warisan itu. Berikan saja ke anak yatim piatu asuhan bapak," jawab saya pelan. Saya memberanikan diri berucap. Saya tahu, saya telah durhaka sebagai anak. Saya pun tahu, saya tidak bisa membohongi dan tidak kuasa menolak rasa cinta dalam hati saya.
Saya tidak layak mendapatkan harta bapak. Saya datang hanya untuk melakukan kewajiban sebagai anak terakhir kalinya, meskipun sudah terlambat.Â
Entah, apa yang akan terjadi pada saya sebentar lagi.