"Bapak, Ibu, Hadirin sekalian," sapa seorang lelaki berjas hitam dan berdasi putih panjang seraya berdiri, "Kita tidak bisa melaksanakan perintah mendiang, jika semua belum kumpul. Kita harus menunggu. Bila Bapak Ibu ingin cepat, segera cari mereka!"
Ruang tengah rumah itu yang tadinya berisik seketika hening. Anak-anak kecil tiba-tiba berhenti bermain, seperti mengerti sedang ada kabar tidak enak. Ibu-ibu yang barusan asyik berbincang terdiam. Dua orang bapak memelotot tajam. Seusai memberi maklumat, lelaki itu kembali duduk.
"Tidak bisa begitu!" jawab seorang bapak yang paling tua, "Kita kan tahu sendiri masalahnya seperti apa?"
"Benar itu! Sudahlah, sekarang saja. Tidak perlu menunggu mereka," sahut seorang ibu yang lebih muda.
Lelaki itu sedikit menunduk. Matanya mengarah pada sebuah dokumen di atas meja. Ia mengambil dokumen lantas membukanya. Masih tersimpan rapi beberapa berkas yang sempat ia laminating agar tidak rusak.
"Di sini, seperti itu perintah mendiang!" jawabnya tegas seusai membaca. Tangannya menunjuk ke dokumen.
Bapak yang paling tua menghampiri ibu yang lebih muda yang sedang duduk di atas sofa biru.
"Bagaimana ini, ke mana lagi harus kita cari? Gara-gara kamu sih, semuanya jadi begini!" ujarnya kesal. Ibu itu menatap sinis. Ia memejamkan mata kiri. "Bukannya abang juga sepikir? Jangan salahkan saya saja!" jawabnya ketus.Â
"Tapi kamu sangat keterlaluan!" tukas bapak itu.Â
Situasi tiba-tiba panas. Beberapa pelayat masih berdatangan. Mendiang meninggal baru sepuluh hari lalu. Papan karangan bunga ucapan belasungkawa berwarna-warni, dari yang sederhana sampai yang begitu megah, dari orang biasa hingga pejabat teras, masih tertata rapi di halaman.Â